PROBLEMATIKA
DALAM PENULISAN SEJARAH
(HISTORIOGRAFI)
ISLAM
A.
Pendahuluan
Sesuatu dianggap
kejadian atau peristiwa sejarah atau tidak, tergantung pada wawasan sejarawan,
yang dari satu masa ke masa lain mengalami perkembangan.[1]
Artinya bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan dari interaksi antara
sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak
berkesudahan antara masa sekarang dengan masa lampau, sehingga tidak ada
tulisan yang bersifat benar-benar final. Sehingga kemungkinan munculnya fakta
dan interpretasi baru senantiasa berkembang.
Permasalahan
kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena dalam penulisan
sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang
dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta sejarah. Artinya,
penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas
dari permasalahan subjektivitas dalam historiografi.[2] Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau
dari aspek keilmuan merupakan permasalahan yang sampai saat ini senantiasa
berkembang dan menjadi hal yang jamak dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam
proses tersusunnya historiografi.
Sejarah memberikan mau’izhah
(pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai aktor
sejarah, untuk menciptakan “sejarah yang benar”. Palajaran atau mau’izhah yang
terdapat dalam al-Qur’an adalah “hukum sejarah”.[3] Semua
orang mungkin berhak untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Bagaimana jika sejarah
Islam disebarkan dengan wajah kejelekan dan menyembunyikan kebaikan? Maka
siapakah yang bertanggungjawab dalam penyebaran “distorsi sejarah” tersebut?
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang
yang bertanggung jawab dalam hal penyebaran sejarah umat Islam ini, mereka
adalah tiga kelompok berikut; sejarawan, sastrawan, dan ahli hadits.[4]
Betapa besarnya suatu
informasi yang dijadikan pelajaran dan peringatan dari sejarah, mengharuskan
seorang Muslim untuk bertindak kritis dengan memberikan kritik terhadap berita
sejarah yang diterima ataupun berita yang disampaikan. Sifat kritik terhadap
berita sejarah atau fakta yang disampaikan berguna untuk mencegah adanya
kesalahan informasi yang akan membawa akibat fatal yaitu musibah dan penyesalan
(QS. 49:6). Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Langlois dan Seignobos yang mengatakan bahwa sifat
kritis terhadap penulis akan menyelamatkan sejarawan dari kesalahan besar dan
hasilnya akan sungguh sangat mengejutkan.[5]
Karena
faktanya, menurut Kuntowijoyo, sejarawan sering melakukan kesalahan-kesalahan
dalam penelitiannya. Diantaranya; kesalahan pemilihan topik, kesalahan
pengumpulan sumber, kesalahan verifikasi, kesalahan interpretasi, dan kesalahan
penulisan.[6]
Dengan demikian, tugas utama sejarawan muslim tidaklah sekedar menulis,
melainkan lebih dari itu yakni mengevaluasi sejarah, wal tandur nafsun ma
qaddamat. Hasilnya dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan membentuk
budaya pembacanya di masa yang akan datang, lil ghad.[7]
B.
Subjektivitas
dan Objektivitas dalam Historiografi
Masalah penting yang
sering kali menghadang penulisan sejarah adalah peristiwa-peristiwa zaman
dahulu yang dikemukakan oleh si pengarang dan gejala-gejala pandangan dunia
yang timbul dalam zaman si pengarang sendiri, kedua hal ini dianggap sebagai
biang subjektif dari pengarang yang menghambat kebenaran sejarah. Ada terdapat
suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan “subjektif” sebagai sesuatu lebih
rendah daripada pengetahuan “objektif”. Sebagian besar karena kata “subjektif”
telah memperoleh arti “khayalan” atau “didasarkan atas pertimbangan pribadi”,
dan karenanya “tidak benar” atau “berat sebelah”.[8]
Permasalahan
subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika subjektivitas masih
ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu sejarah adalah apa yang
sesungguhnya terjadi (wie es eigenlich gewesen) dan didukung oleh
sumber-sumber primer yang memiliki eksistensi di luar pemikiran manusia. E.H.
Carr menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat murni objektif karena menjadi
fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”.[9]
Permasalahan
subjektivitas yang terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya
kontroversi sejarah adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi
subjektivisme. Subjektivisme merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan
seleksi, interpretasi, dan menyusun periodisasi, dan sebagainya, namun yang
terjadi tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan
subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran
intelektual.
Sehingga menurut hemat
penulis, bahwa subjektivisme adalah “akar” dari problematika historiografi dan subjektivitas
dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka
tidak akan pernah ada objektivitas. Menurut Hasan Muarif, subjektivitas agaknya
harus diterima sebagai bagian dari objektivitas sejarah. Atau dengan kata lain,
subjektivitas tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Subjektivitas juga muncul
seperti yang dikatakan oleh Nugroho Notosoesanto, -yang dikutip dalam buku
Menemukan Peradaban, bahwa sebagian besar sumber sejarah adalah kesaksian
manusia, karenanya tidak memiliki realitas objektif, melainkan hanya merupakan
simbol-simbol daripada sesuatu yang nyata di masa lampau.
Dengan kata lain, fakta
sejarah yang tersebut belakangan hanya ada dalam observasi atau pemikiran
sejarawan, dan karenanya disebut subjektif. Meski demikian, pemikiran subjektif
tidak berarti kurang bermutu daripada pengetahuan objektif, ini berarti bahwa
menulis tanpa memihak (sine ira et stadio) tidak sepenuhnya benar.[10]
Permasalahan tentang
subjektivitas akan semakin rumit apabila terdapat kepentingan pada tataran
sumber. Permasalahan ini sering terjadi terutama dalam sejarah kontemporer.
Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa
sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah
untuk tujuan-tujuan tertentu.
Selain itu hal yang menyebabkan
kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih
belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sehingga sampai saat ini
masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan
satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa
fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini.[11]
Perlu diketahui bahwa tidak
setiap yang ada dalam buku sejarah adalah benar seluruhnya. Banyak
sumber-sumber buku sejarah yang terlalu membesar-besarkan dan mendistorsi
segala kejadian yang tidak bisa diterima oleh kebenaran baik dengan cara
induktif maupun ketika dikomparasikan dengan argument yang diambil dari sumber
lain.
Begitu banyak hawa
nafsu, fanatisme politik, relativisme, dan sekterianisme menjadi latar belakang
penulisan sejarah, penuturan kisah, pewarnaan kejadian, dan penggambaran para
pahlawan baik yang positif maupun negative. Kalau dalam istilah Hasan Muarif
bahwa hasil penulisan masih ada yang mencerminkan apa “yang diinginkan” (das
sollen) yang hasilnya jauh melebihi dari “yang seharusnya/senyatanya” (das
sein).[12]
Terutama biasanya sejarah ditulis oleh bangsa-bangsa yang menang. Sehingga
kemenangan tersebut biasanya menjadi kilauan yang membuat kabur mata para
sejarawan untuk melihat kejelekan-kejelekannya. Dalam waktu yang sama, mereka
biasanya membesar-besarkan kesalahan dan menghilangkan keutamaan bangsa-bangsa
yang kalah baik dilakukan secara sadar atau tidak.[13]
Padahal Fillmore H.
Sanford menyatakan bahwa idealnya peneliti harus mencoba melihat dunia ini
seperti tidak bergerak, tidak ada prasangka. Ia harus mencoba selama
menyelidiki objeknya seperti apa adanya. Bahasa penelitiannya harus merupakan cold
language (bahasa yang tidak emosional). Namun pada kenyataannya, Fillmore
juga mengakui bahwa sekalipun peneliti mencoba seobjektif mungkin, namun ia
bukanlah penyelidik yang pasif dan netral.[14]
Menurut Badri Yatim[15],
ada beberapa faktor yang membatasi objektivitas sejarah, yaitu sebagai berikut:
1.
Sejarawan
menulis sejarah untuk tujuan tertentu. Misalnya sejarawan menulis sejarah atas
permintaan raja. Oleh karena itu terjadi proses selektivitas tertentu. Tujuan
itu bisa untuk kepentingan pribadi, atau meningkatkan kehormatan bangsa atau
golongannya. Namun sejarah juga bisa ditulis sesuai dengan pesanan di samping
dapat pula atas inisiatif sejarawan sendiri.
2.
Sejarawan dalam
menulis sejarah dipengaruhi oleh lingkungan budayanya, karena setiap sejarawan
hidup dalam lingkungan budaya tertentu. Misalnya di Eropa masa silam, sejarawan
atau penulis sejarah adalah agamawan, oleh karena itu karya-karya sejarah penuh
dengan peristiwa-peristiwa keagamaan.
3.
Sejarawan
dipengaruhi oleh etnosentrime, atau sikap atau pandangan yang berpangkal pada
masyarakat dan kebudayaan sendiri. Misalnya para penulis yang berasal dari
Belanda yang menulis sejarah Indonesia dari sudut pandang Belanda pada masa
penjajahan dulu.
Pengaruh tujuan penulisan, lingkungan budaya, dan
etnosentrime ini tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi dalam penulisan
sejarah yang baik, pengaruh-pengaruh ini harus dapat dikurangi menjadi sekecil
mungkin.
C.
Hubungan
Fakta dengan Sejarawan
Fakta berasal dari
bahasa Yunani yaitu factum, artinya telah terjadi atau sesuatu peristiwa
yang benar-benar ada.[16] Fakta
sejarah dapat didefinisikan sebagai sesuatu unsur yang yang dijabarkan secara
langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah dan dianggap kredibel
setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Tidak
ada salahnya untuk menekankan bahwa apa yang dimaksud jika sesuatu unsur
disebut kredibel bukanlah unsur itu adalah apa yang sungguh-sungguh
terjadi, melainkan bahwa unsur itu paling dekat dengan apa yang
sungguh-sungguh terjadi, sejauh dapat kita ketahui berdasarkan suatu
penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.[17]
Menurut Fillmore H.
Sanford, fakta adalah suatu kesepakatan hubungan persepsi antara peneliti
dengan peristiwa. Sama halnya yang dikatakan oleh Carl Becker, bahwa fakta
sejarah tidaklah mungkin ada kecuali sejarawan sendiri yang menentukannya.
Tetapi tidaklah berarti sejarawan dapat bertindak sebagai tiran atau budak
terhadap fakta sejarah tersebut. Melainkan hubungan antara fakta dan sejarawan adalah
one of equality, of give and take (manunggal dalam kesatuan, memberi dan
menerima).
Oleh karena itu, sejarawan tanpa fakta berarti tidak
berakar dan tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya, fakta tanpa sejarawan akan
menjadi mati dan tak berarti. Proses interaksi yang terus menerus antara
sejarawan dengan faktanya, serta dialog yang tanpa akhir antara masa kini
dengan masa lampau adalah sebagai jawaban dari apa itu sejarah.[18]
Prof. Dr. Haryati Soebadio pernah mengingatkan bahwa
“Sejarawan perlu mawas diri, supaya tetap menjaga integritasnya sebagai
peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmuwan tidak diharapkan memberikan tafsiran
yang melanggar etika ilmiahnya”. Namun sejarah sebagai kisah adalah campur
tangan manusia (subyek) dalam menyajikan dan menafsirkan fakta serta
peristiwa-peristiwa sejarah. Fakta dan peristiwa sejarah harus ditafsirkan,
karena tanpa penafsiran ia hanya akan menjadi rangkaian “pseudo history”.[19]
D.
Distorsi
Sejarah; Tanggung Jawab Sejarawan
Kekurangan para penulis ada dalam
cara penulisan, bukan pada sejarah. Atau dengan kata lain, tanggung jawab
sebenarnya dibebankan pada para sejarawan dan penulis, bukan pada para pembaru
yang selalu muncul setiap waktu. Kekurangan yang ada dalam cara penulisan
tersebut membuat banyak orang menduga bahwa sejarah pembaruan dan perjuangan
Islam telah berhenti dalam rentang waktu yang sangat panjang. Sehingga tidak
terlihat kecuali orang yang terbawa arus gelombang, melakukan kerusakan,
memiliki akal pemikiran, ilmu, dan produksi yang rendah.[20]
Kesalahan juga ternyata
bukan hanya tanggung jawab para sejarawan saja, tetapi tanggungan orang yang
selama ini membatasi sumber pada buku-buku sejarah resmi saja. Mereka tidak
pernah menjangkau buku lainnya yang tidak memiliki judul sejarah, seperti; buku
sastra, agama, orang-orang besar, kehidupan mereka, dan buku-buku yang ditulis
oleh murid-murid mereka.
Jika penelitian
diperluas, mencakup buku-buku yang selama ini tidak dipakai, diberikan pada
peneliti yang luas pikirannya, sabar dalam menelaah, dan cermat ketika menarik
kesimpulan, maka pasti akan menghasilkan sejarah bersambung dengan perbaikan,
pembaruan, dan pemikiran baru dalam Islam. Hal ini juga menunjukkan bahwa
perbaikan dan perjuangan merupakan dua hal yang selalu ada dan tidak pernah
lepas dari umat Islam.[21]
Al-Allamah
Abul Hasan an-Nadwi mengatakan, “Termasuk ke dalam fakta sejarah adalah ketika
sejarah reformasi dan pembaruan selalu menyatu dengan Islam”. Sehingga sejarah
pun tidak pernah sepi dari usaha pembaruan, orang yang menentang kebathilan,
memerangi kerusakan, meneriakkan suara kebenaran, melawan kezhaliman, dan
membuka jendela pemikiran baru.[22]
Ada 4 (empat) hal yang
membuat para sejarawan muslim harus bertanggung jawab atas pendistorsian
sejarah Islam, yaitu:
1)
Mempermudah
periwayatan hadits tentang fitnah antar sahabat.
Mereka
terlalu mempermudah tentang periwayatan hadis yang berkaitan dengan fitnah
antar sahabat dan Bani Umayyah. Mereka tidak pernah meneliti riwayat dan sanad
hadits-hadits tersebut untuk kemudian disaring dengan Jarh wa Ta’dil sebagaimana
yang sering mereka lakukan ketika mencari hukum-hukum fikih dan yang lainnya.[23]
2)
Kekaguman para
sejarawan terhadap hal-hal ajaib dan lemahnya nalar kritis mereka.
Ulama
hadits telah menegaskan bahwa salah satu tanda hadits maudhu’ adalah
kandungannya yang terlalu berlebihan dalam janji dan ancaman. Seperti hadits
yang mengatakan: “Satu suap di perut orang lapar lebih baik daripada
membangun seribu masjid” dan hadits, ”Orang yang menjamin surga adalah
orang yang diberi nama Muhammad”. Juga hadits yang menerangkan tentang
seseorang yang tidak akan pernah mendapatkan surga hanya karena dia mencat
jenggot dengan warna hitam.
Para
sejarawan seharusnya melihat hal-hal yang berlebihan sebagai tanda bahwa berita
yang dibawa adalah tidak benar. Hal inilah yang menjadi sebab kritikan Ibnu
Khaldun terhadap sejarawan yang hidup sebelumnya.[24]
3)
Mereduksi
sejarah menjadi sejarah penguasa (sejarah politik) saja.
Faktor
ketiga yang menjadi tanggung jawab para sejarawan muslim terhadap distorsi dan
kedzaliman sejarah Islam adalah ketika sejarah umum yang ditulis mereka
berpusat pada sisi politik dan militer saja. Seolah sejarah hanya terbatas pada
penguasa. Mereka tidak pernah memberikan ruang kepada masyarakat dan berbagai
kelas lainnya yang hidup di tengah-tengah masa para penguasa. Padahal golongan
tersebut mempunyai tempat yang luas dalam sejarah Islam.[25]
Pertumbuhan
historiografi Islam sejak fase awal harus diakui banyak berkaitan dengan dan
dipengaruhi oleh perkembangan politik (siyasah) di antara kaum muslimin.
Petersan misalnya, yang dikutip dalam buku Historiografi Islam Kontemporer
karya Azyumardi Azra, dalam studinya yang bagus sekali tentang asal-usul dan
pertumbuhan tulisan historis Islam, berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
amat jelas antara perkembagan politik-keagamaan dan pembentukan tradisi
historiografi Islam.
Hal
ini seperti dalam kasus konflik dan perang antara Ali ibn Abi Thalib dan
Muawiyyah ibn Abi Sufyan, ia membuktikan bahwa kebanyakan historiografi yang
muncul dan berkembang berbarengan dengan pecahnya al-fitnah al-kubra diantara
kaum muslimin ditulis untuk membela dan mendukung kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Historiografi semacam ini bisa disebut sebagai “historiografi
politik partisan”.[26]
4)
Melupakan
kegemilangan sejarah Islam.
Faktor
keempat yang menjadi tanggung jawab para sejarawan muslim terhadap
pendistorsian sejarah Islam adalah tidak adanya penitikberatan kepada sisi
kegemilangan yang ada dalam sejarah Islam. Hal itu karena titik tekan terhadap
sejarah politik lebih banyak daripada sejarah reformasi dan pembaruan. Serta
perhatian terhadap sejarah para khalifah dan raja lebih banyak daripada sejarah
rakyat, masyarakat, orang yang membimbing, mendidik, dan memberi petunjuk pada
mereka baik itu ulama, pendidik, maupun dai.[27]
E.
Kriteria dalam Menulis Sejarah Islam
Telah
menjadi ilmu yang umum di dalam kalangan bangsa-bangsa selama ini, bahwa bangsa
Arab sebelum Islam terdiri dari beberapa kabilah Badui yang tidak mempunyai
tempat tinggal tetap, terputus hubungannya dengan bangsa yang telah jauh lebih
maju sebagai bangsa Yunani, Rumawi, dan Mesir.
Namun setelah diselidiki oleh
ahli-ahli riwayat zaman baru, ternyata bahwa persangkaan demikian amat keliru.
Bahkan perhubungan bangsa Arab sudah lama sekali dengan bangsa yang maju
tersebut, baik dalam perniagaan maupun peradaban. Penulis riwayat zaman baru
banyak yang telah menghabiskan umur, harta benda, dan berletih tulang memasuki
tanah Arab, mencari persangkutan zaman kini dengan zaman purbakala, semata-mata
berkhidmat pada ilmu pengetahuan.[28]
Namun
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tidak semua orang yang mempunyai spesialisasi
dalam ilmu sejarah bisa menulis sejarah Islam. Sebab orang yang ingin menulis
sejarah Islam harus mengetahui wawasan keislaman sebagai dasar untuk memahami
sejarah, umat, falsafah, akidah, syariat, dan peradaban Islam. Dia pun harus mengetahui
cara yang digunakan oleh para sejarawan Islam pertama dalam menulis sejarah
Islam.
Selain itu, dia pun harus bisa
merasakan tanggung jawab di depan Allah, nurani, dan umat Islam tentang hal
yang akan ditulis. Karena hal ini ada kaitannya dengan kehormatan sebuah umat
yang sangat besar sehingga dia tidak menganggap remeh dalam penulisan sejarah.[29]
Hal pertama yang harus dihindari
dalam menulis sejarah adalah keberpihakan dan hawa nafsu yang bisa membuat dia
buta serta memalingkan kebenaran. Dia harus meneliti kejadian-kejadian
sensitive dari riwayat-riwayat yang dibesar-besarkan atau cerita yang
menyesatkan.
Menurut
Yusuf Qardhawi, terdapat dua hal yang garus dihindari dalam penulisan sejarah
Islam, yaitu kelemahan verifikasi dan salah menafsirkan suatu kejadian.
1)
Kelemahan
Verifikasi.
Bagi
orang yang ingin melakukan verifikasi, dia harus mencari tahu tentang perawi
sanad, serta tingkat keadilan dan hafalan mereka. Karena hal ini merupakan cara
yang tepat dalam penulisan sejarah. Jika ada seorang perawi yang memeluk suatu
mazhab tertentu, menyebarkan dan bersikap fanatisme terhadap mazhabnya, maka
kita harus hati-hati atau bahkan menolak orang tersebut. Hal yang sama kita
lakukan terhadap perawi yang dituduh dusta, sering melakukan kesalahan, tidak
kuat hafalannya, dan hal lainnya.
Ada
orang yang mengatakan bahwa jika menggunakan metode ahli hadits, maka tidak
akan ada sejarah yang bisa dijadikan pegangan. Dalam hal ini, Yusuf Qardhawi,
mengatakan bahwa minimal kita harus menggunakan metode tersebut dalam
permasalahan besar yang sering menjadi perdebatan.[30] Sebaliknya,
menurut Ahmad Mansur Suyanegara, seorang sejarawan tidak perlu menjadikan
ukuran kebenaran berita sejarah dengan mengukur atau mempertimbangkan lewat
akhlak atau kejujuran penyampai atau penulis sejarah.[31]
Bahkan
Abbott menyatakan bahwa hadits dan sejarah merupakan disiplin kembar, walau
keduanya tidaklah identik. Dalam dekade-dekade pertama Islam, keduanya
merupakan pelengkap bagi penafsiran al-Qur’an dan juga sebagai pendukung bagi
penyusunan riwayat hidup Nabi Muhammad. Karenanya, sering terdapat duplikasi
dalam isi disiplin hadits dan sejarah.[32]
Seorang
sejarawan juga tidak boleh memiliki pertentangan antara pemahaman dan
keyakinannya. Dia tidak boleh percaya terhadap suatu hal dan hal lain yang
bertetangan dengan agama yang dianutnya. Data ilmu yang ada dalam diri seorang
sejarawan pun tidak boleh bertentangan. Dia tidak boleh menerima hal yang
diterima oleh ilmu sejarah tetapi ditolak oleh ilmu sosial, kejiwaan, ekonomi,
alam, matematika, dan agama. Selain itu, cerita sejarah yang diterimanya pun
tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah terhadap alam yang berdiri di atas
sebab-akibat.
2)
Salah
Menafsirkan Suatu Kejadian.
Selain terjadi dalam penyusunannya,
distorsi terhadap sejarah pun terjadi pada pembacaan dan penafsirannya. Kita
sering mendapatkan hawa nafsu, fanatisme, dan berbagai warna pemikiran yang
mencoba untuk membaca, menafsirkan, dan menyetir peristiwa sejarah. Fenomena
tersebut sering dicoba untuk diterapkan ke dalam sejarah Islam. Seperti para
Orientalis yang mengaggap Muhammad bukanlah seorang Nabi dan Islam bukanlah
Agama Allah, tidak ada agama selain Yahudi dan Nasrani dan lainnya.[33]
Adapun orang-orang marxis, mereka
akan menafsirkan sejarah dengan tafsir materialism. Dengan sangat dzalim, teori
pertentangan kelas yang mereka gunakan hendak diterapkan terhadap kelahiran
Islam seperti membagi para sahabat dalam aliran kanan dan kiri.
Bahkan banyak penulis dari kalangan
kaum muslimin sendiri yang menelanjangi berbagai peristiwa sejarah dan sikap
para tokohnya. Suatu hal yang tidak pernah mereka bayangkan bahwa pada zaman
sekarang akan terjadi berbagai dusta dan distorsi. Mereka menggambarkan antara
Umar dan Khalid, Utsman dan Ali, Thalhah dan Az-Zubair seperti hubungan antara
tokoh-tokoh partai dan para politikus yang ambisius dan tamak di zaman
sekarang.
Adapun orang-orang nasionalis Arab,
mereka akan menafsirkan sejarah Islam dengan paham kebangsaan. Menurut mereka,
Islam tiada lain adalah salah satu loncatan dari berbagai loncatan bangsa Arab.
Nabi tiada lain adalah pahlawan Arab yang memuliakan bangsa Arab dengan
kemanusiaan. Sehingga tidak aneh jika kita melihat mereka beranggapan bahwa
pahlawan, ulama, dan tokoh-tokoh besar sejarah Islam dianggap sebagai
pahlawan-pahlawan Arab.[34]
Tidak aneh juga jika mereka menyebut
peradaban Islam sebagai “peradaban Arab”. Padahal sesuai dengan tujuan, nilai,
falsafah, unsur pembangunan, tokoh-tokoh, dan wilayah luas yang membentang,
peradaban tersebut adalah peradaban Islam.
Memang benar, tidak bisa diingkari
bahwa bangsa Arab mempunyai keutamaan. Mereka adalah generasi pertama yang
menyampaikan risalah, al-Qur’an, dan as-Sunnah kepada dunia. Dari bangsa ini,
Nabi terakhir diutus, dengan bahasa mereka kitab suci diturunkan, dan di negeri
mereka terdapat tanah Haram. Namun, semua itu tidak berarti harus melakukan
distorsi terhadap sejarah Islam.[35]
F.
Alasan Penulisan Ulang Sejarah Islam
Pada zaman sekarang, banyak orang
yang mengajak untuk menulis ulang sejarah Islam sesuai dengan metode dan tafsir
baru. Menurut Yusuf Qardhawi, ajakan ini memang hal yang sangat penting, tetapi
menjadi tempat licin yang sangat berbahaya. Karena setiap golongan pasti akan
menulis sejarah sesuai dengan mazhab pemikiran dan ideologi yang dianutnya.
Sekularisme liberal pasti akan
menulis sejarah sesuai dengan falsafah individualism-kapitalisme. Marxisme akan
menulis sejarah sesuai dengan tafsir materialism, menjauhkan pemikiran ghaib
dan ruhani –iman kepada Allah, wahyu, dan Hari Akhir- dalam melihat kejadian.
Bahkan, pada sejarah Nabi sekalipun. Pandangan ini akan membagi para sahabat
antara kanan dan kiri, melihat keduanya dalam sebuah pertentangan yang
mengada-ngada. Kemudian Nasionalisme Arab akan melihat sejarah dalam kacamata
kebangsaan. Ia tidak akan melihat bangsa-bangsa lain, tetapi melihat kejadian
untuk kepentingan kebangsaan saja. Setiap keajaiban ilmu dan amal akan diberi
warna kebangsaan.[36]
Pada zaman sekarang, berbagai
kekuatan besar –terutama Amerika- ingin mengubah identitas, menentukan nasib
dan memaksakan hal yang harus dipelajari oleh umat Islam termasuk hukum Agama
sekalipun. Menurut Yusuf Qardhawi, mereka ingin mengambil, membiarkan,
mengubah, dan mengganti sesuai dengan kehendak mereka. Sehingga tidak aneh jika
mereka meminta secara terang-terangan atau dibalik tirai untuk membuang sejarah
Islam.
Sehingga
menurutnya, penulisan sejarah semacam ini jelas tidak bermanfaat. Bahkan
kemadharatannya lebih besar daripada kemaslahatan. Oleh karena itu, jika ingin
menulis ulang sejarah Islam, kita harus membatasi tujuan penulisan tersebut,
kekurangan-kekurangan yang harus kita hindari, dan metode yang menjadi dasar
penulisan sejarah.[37]
Namun yang perlu digaris bawahi dari semua keterangan di atas adalah bahwa
tidak pernah ada penulisan sejarah yang utuh, sempurna, dan objektif, dan juga
tak ada penulisan sejarah yang dapat memenuhi keinginan dan menyenangkan semua
pihak.[38]
[1]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta, CV Rjawali: 2009) hlm.5
[2]
Tsabit Azinar Ahmad, Masalah Kuasa dan Kontroversi dalam Historiografi. (Semarang,
UNNES) hlm.1
[3]
Ahmad Mansur S. Menemukan Sejarah. (Bandung, Mizan: 1998) hlm.24
[4]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 233
[5]
CH.V. Langlois & CH. Seignobos. Introduction to the Study of History.
Terj. Supriyanto Abdullah (Yogyakarta, Indoliterasi: 2015) hlm. 102
[6]
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Jogjakarta, Yayasan Bentang
Budaya: 2001) hlm.163
[7]
Ahmad Mansur S. Menemukan Sejarah. (Bandung, Mizan: 1998) hlm.31
[8]
Louis Gottschalk. Understanding History: A Primer of Historical Method. Terj.
Nugroho Notosusanto. (Jakarta, UI-Press: 2015) hlm. 34
[9] Poespoprodjo,
W. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Dikutip dari Tsabit Azinar
Ahmad, Masalah Kuasa dan Kontroversi
dalam Historiografi. (Semarang, UNNES) hlm.1
[10]
Hasan Muarif. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia. (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu: 2001) hlm. 89
[11]
Tsabit Azinar Ahmad, Masalah Kuasa
dan Kontroversi dalam Historiografi. (Semarang, UNNES) hlm.2
[12]
Hasan Muarif. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia. (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu: 2001) hlm. 79
[13]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 235
[14]
Ahmad Mansur S. Menemukan Sejarah. (Bandung, Mizan: 1998) hlm.61
[15]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta, CV Rjawali: 2009) hlm.5-6
[16]
Suhartono. W. Pranoto. Teori dan Metodologi Sejarah. (Yogyakarta, Graha
Ilmu: 2010) hlm.13
[17]
Louis Gottschalk. Understanding History: A Primer of Historical Method. Terj.
Nugroho Notosusanto. (Jakarta, UI-Press: 2015) hlm. 112-113
[18]
E.H Carr. What is History. Dikutip dari Ahmad Mansur S. Menemukan
Sejarah. (Bandung, Mizan: 1998) hlm. 62
[19]
Hasan Muarif. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia. (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu: 2001) hlm. 89
[20]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 257
[21]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 258
[22]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 256
[23]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 234
[24]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 240
[25]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 250
[26]
Azyumardi Azra. Historiografi Islam Kontemporer. (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama: 2002) hlm. 47
[27]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 254
[28]
Hamka. Sejarah Umat Islam I. (Jakarta, PT Bulan Bintang: 1986) hlm.43
[29]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 285
[30]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 287
[31]
Ahmad Mansur S. Menemukan Sejarah. (Bandung, Mizan: 1998) hlm.31
[32]
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary. Dikutip dari Azyumardi Azra. Historiografi
Islam Kontemporer. (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama: 2002) hlm. 29
[33]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 288
[34]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 289
[35]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 290
[36]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 283
[37]
Yusuf al-Qardhawi. Distorsi Sejarah Islam. (Jakarta, Pustaka al-Kautsar:
2015) hlm. 284
[38]
Hasan Muarif. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia. (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu: 2001) hlm. 91
0 Response to "PROBLEMATIKA DALAM HISTORIOGRAFI ISLAM"
Post a Comment