Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah[1]
A.
Sejarah Munculnya Qa’idah Fiqhiyyah
Nabi
Muhammad SAW tidak meninggalkan umatnya begitu saja sebelum membangun secara
sempurna terhadap hukum Islam dengan nash yang shorih, global, dan universal.
Di samping itu, Nabi akan lebih dulu menjelaskan dalil-dalil yang masih global,
mutlak, serta men-takhsis dalil yang umum, dan me-naskh hukum-hukum
yang perlu untuk dinaskh.
Sedangkan
peran sahabat selanjutnya hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan Nabi.
Ijtihad sahabat tidak dapat disebut sebagai tasyri’ (penciptaan hukum
syariat), namun sebatas mengembangkan dan menjabarkan dasar-dasar yang telah
diletakkan oleh Nabi. Pada periode ini, Term ‘fiqh’ digunakan untuk
menunjuk segala sesuatu yang difahami dari teks al-Qur’an dan al-Sunnah, baik
persoalan akidah maupun hukum dan adab. Term ‘fiqh’ dan ilmu pada
periode ini memilki arti yang sama.[2]
Metode
ijtihad pada waktu itu adalah mencari keterangan terlebih dulu dalam al-Qur’an,
dan jika tidak ditemukan maka pindah ke Sunnah, dengan cara memusyawarahkan dan
mengumpulkan para sahabat yang pernah mendengar penjelasan dari Nabi tentang
suatu masalah. Jika masih tidak ditemukan keterangan, maka mereka menggunakan ra’yu
(ijtihad).[3]
Pada
periode Tabi’in, dimulailah pendasaran terhadap ilmu fiqh. Menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, ilmu fiqh menjadi berkembang di tengah masyarakat pada saat itu
karena jasa murid-murid Ibnu Mas’ud yang ada di Irak, murid-murid Zaid bin
Tsabit, Ibnu Umar yang ada di Madinah. Dan murid-murid Ibnu Abbas yang ada di
Mekkah. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya bermunculan
tempat-tempat kajian atau diskusi yang didirikan oleh ahli Hadits dan ahli ra’yu.
Sehingga pada periode ini, ilmu fiqh telah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Periode
pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah
teori. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya yang hang menjadikan fiqh berada
pada wilayah praktek. Sehingga fiqh tidak hanya hanya mampu menjelaskan
persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual) namun juga menjadi Nazariyyah
(teori).
Pada
periode ini, term ‘fiqh’ mulai dibedakan dari term “ilmu”. Term ‘fiqh’ diartikan kemampuan memahami
hukum dari nash. Ada yang mengatakan bahwa maksud “ilmu” adalah al-Riwayah
dan “fiqh” adalah al-Dirayah. Dalam periode ini, ilmu fiqh setelah
melewati masa pendasarannya, mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini
ditandai dengan banyaknya bermunculan mazhab-mazhab dan metode ijtihad. Pertentangan
yang sengit antara metode ahlu ra’yu dan golongan ahli hadits berakhir
dengan diakuinya metode ahlu ra’yu sebagai salah satu metode pengambilan
hukum dengan syarat harus berdasarkan nash.
Kemudian
dimulailah pembukuan ilmu fiqh dalam bentuk Mazhab. Pertama kali ulama yang
menulis dalam bentuk Mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani, murid Abu
Hanifah, yang berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat gurunya (Imam Abu
Hanifah). Selain itu, adalah karya Muawatta’ karya Imam Malik dan al-Umm
karya Imam al-Syafi’i. Di periode ini juga ilmu ushul fiqh dibukukan supaya
dijadikan kerangka berfikir untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya.[4]
B.
Proses Pembentukan Qa’idah Fiqhiyyah
Awal
mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan
terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini
terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah
melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini
berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab. Dan ulama pada saat itu
merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu.
Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat
yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak
ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada
pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan
baru.
Ketika
hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin
banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan
dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari
kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H)
dalam risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam
kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut
mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup
satu masalah fiqh disebut dhabit.[5]
Sulit
untuk diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih, yang jelas dengan
meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa hidup penyusunnya, ternyata kaidah
fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses
sejarah hukum Islam. Ada yang mengatakan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari
mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah
mengumpulkan kaidah fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah.
Kemudian
Abu Sa’id al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’I mengunjungi Abu Thahir dan
mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir, diantara kaidah tersebut
adalah lima kaidah dasar. Setalah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang
ulama besar imam Abu Hasan al-Karkhi, yang kemudian menambah kaidah fiqih dari
Abu Thahir menjadi 37 kaidah.[6]
Pada
abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan
walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis
kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani
al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al-
Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab
“Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab
terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri
al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih
banyak lagi.
Karya-karya
ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada
abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi
sedikit mulai meluas. Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa
keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.[7]
Pada
abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam
al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang
paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi.
Pada
abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Pengkodifikasian qawa’id
fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul
Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah
fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam
proses penalaran hukum fiqh.[8]
Berikut
proses pembentukan kaidah fiqih:
(1)
Sumber
hukum Islam: al-Qur’an dan Hadits; (2) kemudian muncul ushul fiqih sebagai
metodologi di dalam penarikan hukum (istinbath al-ahkam). Dengan
metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih;
(3) Fiqih ini banyak materinya kemudian oleh ulama di bidang fiqih diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan,
dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah –masalah yang serupa,
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fiqih. (4) Selanjutnya kaidah-kaidah
tersebut dikritisi dengan menggunakan banyak ayat dan hadits, terutama untuk
dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi. (5)
Apabila sudah dianggap sesuai baru kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang
mapan/akurat. (6) Apabila sudah akurat, maka ulama fiqih menggunakan kaidah
tadi untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat, baik di dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan pada akhirnya akan memunculkan
fiqih-fiqih baru. (7) Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama
memberi fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan
kaidah-kaidah fiqih. (8) Sehingga menjadi sebuah hukum atau qanun.[9]
Dengan
menggunakan proses seperti digambarkan diatas, kemudian muncul kitab-kitab kaidah-kaidah
fiqih di berbagai mazhab Islam. Oleh karena fiqih tumbuh lebih dahulu dari
kaidah-kaidah fiqih, maka sering kita temukan kaidah-kaidah itu ada dalam kitab
fiqih ulama tersebut.
C.
Kitab- Kitab Kaidah Fiqih[10]
1)
Kitab-kitab Kaidah Fiqih Mazhab Hanafi
a.
Ushul
al-Karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal
dengan Abu Hasan al-Karkhi yang di dalamnya memuat 37 kaidah fiqih.
b.
Tasis
al-Nazhar, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w.
430 H). Di dalam kitab tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqih.
c.
Al-Asybah
wa al-Nazhair, karangan Ibnu
Nuzaim (w. 970 H). Nama lengkapnya Zain al-Din bin Ibrahim bin Muhammad,
terkenal dengan nama Ibnu Nuzaim al-Hanafi al Mishri, terdapat 25 kaidah.
d.
Majami’
al-Haqaiq, karangan Abi said al-Khadimi
seorang fakih mazhab Hanafi yang memuat 154 kaidah. Kaidah-kaidah fiqihnya
disusun berdasarkan abjad huruf Hijaiyah.
e.
Majalah
al-Ahkam al-Adliyah, yang disusun
oleh ulama-ulama terkemuka Turki Usmani. Di dalamnya terdapat 99 kaidah di
bidang fiqh muamalah dengan 1851 pasal.
2)
Kitab-kitab Kaidah fiqih Mazhab Maliki
a.
Ushul
al-Futiya fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam Malik, karangan Ibnu Haris al-Husyni (w.361 H) meskipun dalam kitab ini
lebih banyak dhabith daripada kaidah fiqih.
b.
Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w. 684 H), nama lengkapnya, Abu Abbas Ahmad
bin Idris bin Abdurahman Syihabuddin al-Qurafi. Dalam kitab ini tercantum tidak
kurang dari 548 kaidah.
c.
Al-Qawaid, karangan al-Maqari (w. 758 H) nama lengkapnya Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad, kitab ini memuat kurang lebih 100 kaidah.
d.
Idhah
al-Masalik ila Qawaid al-Imam Malik,
karangan al-Winsyarisi (w. 914 H), nama lengkapnya Ahmad bin Yahya bin
Muhammad, kitab tersebut mengandung 118 kaidah.
3)
Kitab-kitab Kaidah Fiqih Mazhab al-Syafi’i
a.
Qawaid
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
karangan Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H) yang digelari dengan Sultlian
al-‘Ularna. Kitab ini mengembalikan seluruh kaidah kepada jalb al-mashalih
wa daf’u al-mafasid (meraih maslahat dan menolak mafsadah). Hukum mubah,
sunnah dan wajib adalah maslahat sedangkan makruh dan haram hukumnya mafsadah.
b.
Al-Asybah
wa al-Nazhair (w. 716 H),
karangan Ibnu al-Wakil, nama lengkapnya Abdullah bin al-Murahili.
c.
Al-Majmu
al-Mudzhabfi Qawaid al-Mazliab,
karangan Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H), sering pula disebut Shalahuddin.
d.
Al-Asybah
wa al-Nazhair, karangan Taj
al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H). Nama lengkapnya Abd al-Wahab bin Ali bin Tamam
al-Subki. Yang menarik dari kitab al-Subki ini antara lain: kaidah disusun
dengan menyebut kaidah-kaidah pokok (kaidah asasi), kemudian disusul dengan
kaidah fiqih yang penting dan disebutnya dengan al-qawaid al-ammah,
karena tidak hanya berlaku pada bab-bab tertentu. Kemudian disusul dengan
al-dhawabith al-fiqhiyah yang disebutnya dengan al-qawaid al-khashshah,
kemudian membahas sebagian masalah-masalah fiqih yang dicakup oleh
kaidah-kaidah tadi.
e.
Al-Mansurfi
Tartib al-Qawaid al-Fiqhiyah
atau al-Qawaid fi al Furu, karangan al-Zarkasyi (w. 794 H). Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Badrudin al-Mishri
al-Zarkasyi. Kitab ini menghimpun sekitar 100 kaidah, yang dirinci dengan
dhabith-nya. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Sirajuddin Al-Ibadi (947 H).
f.
Al-Asybah
wa al-Nazhair, karangan Imam
al-Sayuthi (w. 911 H). Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Abi Bakar bin
Muhammad, yang diberi gelar Jalaluddin dan terkenal dengan nama al-Sayuthiy
al-Syafi’i. Dimulai dengan menjelaskan lima kaidah pokok, kemudian dijelaskan
kaidah-kaidah fiqih yang masih diikhtilafkan ulama yang terdiri dari 20 kaidah.
g.
Al-lstighna
fi al-Farqi wa al-lstitsna, karangan
Badrudin al-Bakri.
4)
Kitab-kitab Kaidah Fiqih Mazhab Hambali
a.
Al-Qawa’id
al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, karangan Ibnu
Taimiyyah (661-728 H). Dalam pembahasannya Ibnu Taimiyyah menyebut qawa’id dan
dhawabith. Demikian pula dalam kitab fiqihnya, al-Fatawa.
b.
Al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, karangan Ibnu
Qadhi al-Jabal (w.77 H), nama lengkapnya Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah.
c.
Taqrir
al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawaid,
karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab. Dalam
kitab ini ada 160 kaidah.
d.
Al-Qawa’id
al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah,
karangan Ibnu Abd. Hadi (w. 909 H).
Pada
masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis para peminat kaidah fiqih,
seperti al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi, Syarh
al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa, al-Wajiz
fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah oleh Muhammad Shiddieqy bin Ahmad
al-Burn, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Syekh Abdullah bin Said
Muhammad Ibadi. Dalam bahasa Indonesia antara lain Kaidah-kaidah Fiqih oleh
Asymuni A. Rahman, Kaidah Fiqih oleh Jaih Mubarok, dan lain-lain.
D.
Definisi Qaidah dan Kedudukannya dalam Hukum Syara’
Dalam pengertian ini ada dua
terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah.
Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah
bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan,
dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I
menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها
حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal
(kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"[11]
Sedangkan secara terminologi fiqh
berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها
التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”Ilmu yang menerangkan hukum hukum
syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan
diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan"[12]
Dari uraian pengertian diatas baik
mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم
احكامها منها
"Suatu perkara kulli
yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak yang dari padanya diketahui
hukum-hukum juziyat itu".[13]
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qawa’idul
Fiqhyah ialah: dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas
berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap
berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut[14]
Qaidah-qaidah Fiqhiyyah adalah qaidah yang dibuat oleh para ahli Ijtihad
yang diistinbath dari al-Quran atau hadits Rasul untuk memudahkan dalam
berijtihad untuk menentukan sebuah keputusan hukum. Dan dalam kaitan ini qaidah
itu sangatlah penting sebagai suatu rumus atau patokan dalam berijtihad.
Dalam Kitab Syarh Mandzumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Lisyu’di menjelaskan
bahwa:
والقواعد
الفقهية قد تؤخذ من النص، كقاعدة الأمور بمقاصدها، فإنها تؤخذ من قول النبي عليه الصلاة
والسلام: (إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى) متفق عليه. إذاً: القاعدة الفقهية قد تؤخذ من النص،
وقد تؤخذ من الإجماع كقاعدة: لا اجتهاد مع النص. الثالثة: أن تؤخذ بالاستنباط، كقاعدة:
المشقة تجلب التيسير.إذاً: هذه القواعد الفقهية قد تؤخذ من النص، وقد تؤخذ من الإجماع،
وقد تؤخذ بطريقة الاستنباط.[15]
Dalam
kitab Qawa’id al-Fiqhi karya Muhammad Amim al-Ihsan menjelaskan bahwa
Qa’idah Fiqih terdapat 426 Qa’idah.[16]
Namun dalam Kitab Syarh Qawa’id Fiqhiyyah karya Ahmad bin Syekh Muhammad
az-Zurqa menjelaskan bahwa Qawa’id Fiqhiyyah ada 99 Qa’idah.[17]
Qa’ida
Fiqhiyyah dicirikan dengan redaksinya yang sulit dipahami karena berupa
kesimpulan dari berbagai ungkapan yang berkaitan dengan hukum. Gaya bahasanya
sangat ringkas namun memiliki arti yang sangat luas. Pada umunya qa’idah
tersusun dari dua kata yang memiliki arti umum. Seperti qa’idah al-umuur
bimaqashidiha yang bentuk redaksinya sangat ringkas namun mampu mencakup
tujuh puluh bab fiqih.[18]
Konsep
dalam syara’ secara garis besar terbagi menjadi dua:
1)
Ushul
Fiqih. Sebagian besar pembahasannya adalah qa’idah-qa’idah hukum yang
berkaitan dengan lafadz atau arti dari kata, seperti signifikasi ámar adalah
wajib, larangan adalah haram, dan ungkapan umum.
2)
Qa’idah-qa’idah
Fiqih yang universal. Qa’idah-qa’idah ini sangat urgen keberadaannya. Jumlahnya
banyak dan mencakup esensi dari syara’. Tiap-tiap qa’idah memiliki furu’ yang
tidak terhitung jumlahnya.[19]
E.
Perbedaan antara Qa’idah Fiqhiyyah dan Qa’idah Ushuliyyah
Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah
ushul fiqih karena keduanya adalah perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum
syariat. Adapun kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis.
Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath
al-ahkam secara benar.
Kaidah-kaidah
ushuliyah yaitu ketentuan global yang memungkinkan Seperti jika kalian berkata:
“perintah menandakan kewajiban” ini disebut qa’idah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun
hadits : seperti kerjakanlah sholat (أقيموا الصلاة) bayarlah zakat (آتوا الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun
kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah
menandakan suatu kewajiban) dan inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan
kaidah ushuliyah ini selalu berhubungan dengan
pemahaman dalil.
Adapun
mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar fiqih secara sempurna, karena
kaidah fiqih seperti ringkasan yang dengan ringkasan tersebut bisa mencakup
seluruh masalah manusia dalam fiqih.
Dan setelah membaca fiqih dengan lengkap
mengenai ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya
sama seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada
maqsudnya) perhatikan: Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu,
sholat, zakat, haji, dan puasa saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah ibadah, ibadah tersebut diharuskan niat.
Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan pembahasan
masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih.
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah
fiqh merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai Qai’dah
fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.[20]
Maka penulis
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah fiqih
muncul setelah furu’. Adapun dari sumber lain menjelaskan:
1)
Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah
para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah.
Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu
hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah
suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum
syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung
makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak
furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i.
Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath
(mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul).
Misalnya,
kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah
menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi
dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an
maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah
fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam
kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan. [21]
2)
Qa’idah
Ushuliyyah adalah sekumpulan peraturan (qanun) yang selalu digunakan
para faqih agar terpelihara dari kesalahan beristinbath. Sedangkan Qawa’id Fiqhiyyah
adalah sekumpulan kaidah yang mengikat berbagai masalah yang sama dalam satu
ikatan.
3)
Ushul
Fiqih merupakan dalil-dalil umum, sedangkan Qa’idah fiqhiyyah merupakan
hukum-hukum umum.
4)
Ilmu
Ushul Fiqih bila dihubungkan dengan fiqih, maka ia merupakan parameter
bagi istibath yang benar. Posisinya seperti ilmu nahwu dalam pembicaraan dan
penulisan kalimat. Kaidah Ushuliyyah merupakan jembatan penghubung antara hukum
dengan sumbernya, disamping juga berfungsi mengeluarkan hukum dari sumber itu
yang terperinci dan objek pembahasannya selalu dalil dan hukum. Sementara Qa’idah
Fiqhiyyah merupakan kaidah yang universal atau berlaku umum (kulliyah) atau
mayoritas yang unsur-unsurnya terdiri dari beberapa masalah fiqih yang objek
permbahasanya selalu perbuatan mukallaf.
5)
Kaidah
Ushuliyyah merupakan sarana untuk mengeluarkan hukum syara’ praktis,
sementara kaidah fiqhiyyah adalah kumpulan dari hukum-hukum serupa yang
memiliki illah yang sama, dimana tujuannya untuk medekatkan berbagai
persoalan dan mempermudah untuk mengetahuinya.
6)
Kaidah
Ushuliyyah ada sebelum furu’ sedangkan kaidah fiqhiyyah ada
setelah furu’
7)
Objek
kajian Qa’idah Ushuliyyah adalah dalil-dalil hukum dan segala aspeknya,
sedangkan objek Qa’idah Fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf yang
ditetapkan dalam hukum syara’
8)
Secara
umum, Ushul al-Fiqhi lahir lebih dahulu daripada Qa’idah Fiqhiyyah, karena
dalam ushul objek kajian pertama kali adalah tentang sumber-sumber hukum dan
Istidlal yang tentunya sudah dimulai sejak zaman Nabi.[22]
F.
Al-Qawa’id Kulliyah al-Kubra (al-Qawa’id al-Khamsah)
Qa’idah
ini merupakan qa’idah yang mirip dengan kerangka berfikir kontemporer umum.
Karena qa’idah-qa’idah kulliyah (Kaidah Asasi) ini dapat mencakup
beberapa hukum fiqih yang tidak terhitung jumlahnya. Isi yang terkandung dalam
qa’idah kulliyah ini disepakati oleh seluruh mazhab fiqih. Pertentangan mungkin
terjadi hanya pada penentuan apakah masalah tersebut masuk dalam qa’idah ini atau
qa’idah itu.[23]
Qa’idah-qa’idah kulliyah al-kubra antara lain:
1)
Qaidah Fiqhiyyah Pertama
الأمور بمقاصدها
“Hukum
semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya”
Qaidah
ini merupakan yang terpenting dari Qa’idah-qa’idah lain dan terdalam dalam
fiqih Islam. Dasar yang digunakan pijakan oleh Qa’idah ini adalah sabda
Rasulullah:
قوله صلى الله عليه وسلم: (إنما الأعمال بالنيات) وهو حديث صحيح مشهور
أخرجه الستة من حديث سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه.
Ibn
Rajab mengatakan: Qa’idah ini merupakan ungkapan universal dan mengakomodir
seluruh persoalan, tidak ada sesuatu pun yang tidak terakomodir dalam qaidah
ini.[24] Menurut
Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Sunan al-Kubra, dari hadits Anas
menggunakan redaksi;
(لا
عمل لمن لا نية له)
“Tidak
ada amal bagi orang yang tidak meniatinya”
Sedangkan Imam Syihab dalam kitabnya “Musnad
al-Syihab” dari hadits Anas menggunakan redaksi;
نية المؤمن أبلغ من عمله
“Niat
orang mukmin lebih baik daripada amal perbuatannya”. Meskipun dalam kitab “al-Wajiz
fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah” hadits diatas merupakan hadits
dha’if
ما رواه القضاعي في مسند
الشهاب من حديث أنس أيضا. ضعيف.[25]
Maksud
dari Qa’idah ini adalah bahwa hukum atas setiap perkara haruslah selalu sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan atau maksud dari perkara tersebut. Artinya, jika
yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram
–meskipun tampaknya baik- maka hukum perkara tersebut haram.
معنى
القاعدة:
1.
في اللغة: الأمور: جمع أمر ومعناه الحال
والشأن والحادثة والفعل،
Menurut
bahasa, al-umuur merupakan jama’ dari amrun yang artinya situasi,
urusan (bisnis), peristiwa, dan pekerjaan.
2.
والمقاصد: جمع مقصد من القصد ومعناه:
الاعتزام، والتوجه، والقصد يأتي بمعنى: النية وهو المعنى المراد هنا.
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsidun artinya niat, terarah.
Arti yang dimaksud dalam Qa’idah ini adalah niat.
Makna
dalam Qa’idah menurut bahasa adalah bahwa seluruh perbuatan dan tabi’at harus
diikuti dengan niat.
Bedasarkan Qa’idah ini, niat yang tidak direalisasikan dengan
perbuatan dzahir, maka tidak akan berimplikasi pada wujudnya hukum syar’i.
Apabila seseorang dalam hati atau di dalam batin mencerai istrinya,, atau
secara batin telah menjual hewan piaraannya, dan apa yang ada dalam hati itu
tidak sampai diucapkannya, maka perbuatan batin tersebut tidak berimpilkasi
hukum syar’i. karena hukum syar’I hanya bersinggungan dengan sesuatu yang
nampak (nahnu nahkumu al-dzahir). Demikian pula. Seseorang yang membeli
harta untuk tujuan waqaf, dan setelah membelinya ia tidak mengucapkan tujuan
atau maksudnya, maka harta tersebut tidak menjadi harta waqaf.[28]
Namun jika perbuatannya sharih (jelas) itu serupa dengan
niat, maka untuk menentukan hukum tidak dibutuhkan niat. Contohnya, apabila
seseorang berkatan pada yang lain, ”saya jual harta saya ini, atau saya
wasiatkan harta saya ini”, maka jual beli dan wasiat semacam ini dianggap
sah meskipun dalam hati tidak ada niat sama sekali.
Jika lafalnya tidak sharih (samar), maka berbeda-beda
hukumnya sebab perbedaan tujuan dari perilaku. Seperti ”akan saya jual harta
ini” atau “akan saya beli harta ini”. Apabila ucapan tersebut
“seketika” bukan nanti mebelinya, maka transaksinya sah. Tapi jika yang
dikehendakinya “nanti/akan” maka transaksi ini tidak sah.[29]
يقصد من النية أمران:
1.
الأمر الأول: تمييز العبادات
عن العادات
2.
الأمر الثاني: تمييز العبادات
بعضها عن بعض حيث إن العبادات من صلاة وصيام وغسل وحج قد تكون فرضاً ونذراً ونفلا وكله
تقرب إلى الله تعالى، لكن لما اختلفت ربتها شرعت النية لتمييزها.[30]
Dalam kitab “al-Wajiz fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah”
maksud dari disyariatkan niat ada 2 alasan. Pertama, untuk membedakan
ibadah dari niat, dan Kedua, untuk membedakan sebagian ibadah dengan
ibadah lainnya. Contoh, duduk di masjid adakalanya untuk tujuan istirahat,
I’tikaf, melihat-lihat, dan lainnya. Memberikan harta, adakalanya tujuannya
untuk hibah, kedudukan duniawi, zakat, atau shadaqah.
Mengenai hukum menyatukan dua niat atau dua tujuan dalam satu
perbuatan. Disini ada beberapa pembagian:
Pertama, bersamaan niat
ibadah, seseorang juga niat untuk tujuan lain yang bukan ibadah, maka tujuan
yang bukan ibadah membatalkan tujuan sebenarnya dan juga ibadahnya. Kedua,
besamaan niat ibadah fardlu, seseorang juga niat untuk tujuan ibadah
lain yang sunat. Disini ada beberapa akibat:
a.
Tidak
membatalkan keduanya, melainkan sama-sama sah. Contoh; niat untuk haji wajib
dan umrah sunnah.
b.
Fardlunya
yang sah, sedangan sunatnya batal. Contoh; haji pertama kali dengan niat untuk
haji wajib dan haji sunnah.
c.
Sunatnya
yang sah, sedangkan fardlunya batal. Contoh; Mengeluarkan harta lima dirham
untuk zakat dan shaqah sunnah.
d.
Kedua-duanya
batal. Contoh; Shalat dengan diniati shalat fardlu dan shalat rawatib.
Ketiga, bersama dengan
melaksanakan ibadah fardlu ia niati pula untuk fardlu lain, maka tidak sah
kecuali dalam masalah haji dan umrah. Keempat, bersamaan dengan
ibadah sunnah, ia niati pula untuk ibadah sunnah lain, maka keduanya tidak sah
kecuali hari raya yang bertepatan dengan dengan hari Jum’at. Di hari itu
seseorang melakukan mandi sunnah jum’ah dan mandi sunnah ied, maka
kedua-duanya sah.[31]
Dalam kitab “al-Wajiz fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah”
dijelaskan bahwa Qa’idah Furu’ (cabang) dalam Qa’idah ini ada 2 macam:
1.
قاعدة العقود,صيغ
القاعدة:
(أ)
عند الحنفية والمالكية: (العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني
لا بالألفاظ والمباني)
“Menurut Imam Hanafiyah dan Malikiyah tentang transaksi:
Yang diperhitungkan dalam transaksi itu tujuan dan makna bukan kata-kata dan
bentuknya”
(ب)
عند الشافعية: (هل العبرة بصيغ العقود أو بمعانيها) ؟
“Menurut Imam Syafi’iyah: Adakah yang diperhitungkan itu bentuk
kata-kata transaksi atau tujuan dan maksudnya?”
(ت)
عند الحنابلة: (إذا وصل بألفاظ العقود ما يخرجها عن موضوعها
فهل يفسد العقد بذلك أو يجعل كناية عما يمكن صحته على ذلك الوجه؟)
“Menurut Hanabilah: Apabila pada kata-kata transaksi terdapat
sesuatu yang memalingkan transaksi tersebut dari sasarannya, adakah hal itu
bisa merusakkan transaksi? Atau dianggap sebagai kinayah dari transaksi yang
bisa sah dengan cara seperti itu?”
2. قواعد
في الأيمان:
اتفق المالكية والحنابلة على مضمون القاعدة
فقالو: (النية تعمم الخاص وتخصص العام) وقال الشافعية: النية في اليمين تخصص اللفظ
العام ولا تعمم الخاص.
“Menurut Imam Malikiyah dan Hanabilah tentang sumpah: Niat
itu bisa mengumumkan lafal yang khas dan bisa mengkhususkan lafal yang umum.
Sedangkan menurut Imam Syafi’iyah: Niat dalam sumpah itu bisa mengkhususkan
lafal yang umum dan tidak bisa meng-umumkan lafal yang khusus” [32]
2)
Qaidah Fiqhiyyah Kedua
(اليقين لا يزول
بالشك) أو (لا يزال، أو لا يرفع)
“Keyakinan
itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”
Qa’idah ini merupakan pondasi syar’I yang kokoh yang memuat banyak
persoalan fiqih dan bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Qa’idah
ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam
masalah bersuci dan shalat. Qa’idah ini menawarkan sebuah solusi berupa
kemudahan dan pertolongan pada semua orang dalam melakukan ibadah.[33]
Qa’idah
ini didasari oleh dalil-dalil nash, diantaranya:
1. قوله صلى الله
عليه وسلم: (إذا وجد أحدكم في بطنه شيئاً فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا؟ فلا يخرجن من المسجد
حتى يسمع صوتاً أو يجد ريحاً) .
“Apabila salah satu darimu mendapati sesuatu, kemudian ia ragu,
adakah sesuatu (angin) yang keluar dari dirinya, atau tidak? Maka jangan keluar
atau membubarkan diri dari masjid sampai ia mendengarkan suara, atau mencium
bau”
2. وروى مسلم عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: (إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلى أثلاثاً أم أربعاً! فليطرح
الشك وليبن على ما استيقن، ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم،[34]
“Apabila
salah satu darimu lupa dalam shalatnya, dan tidak tahu apakah sudah shalat satu
raka’at, atau dua rakat? Maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari satu
rakaat. Apabila tidak yakin; apakah sudah shalat dua rakaat atau tiga rakaat?
Maka hendaknya ia melanjutkan shalatnya dari dua rakaat. Apabila tidak tahu;
apakah sudah tiga rakaat atau empat rakaat? Maka hendaknya ia melanjutkan
shalatnya dari tiga rakat, dan melakukan dua sujud sahwi sebelum ia salam.”
Menurut
Imam al-Suyuti, bahwa Qa’idah ini bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqih.
Masalah-masalah yang bisa diselesaikan oleh Qa’idah ini mencapai lebih dari tiga
seperempat permasalahan fiqih, atau bahkan lebih. Menyangkut masalah ibadah,
muamalah, sanksi, dan lain-lain.[35]
Materi-materi fiqih yang terkandung dalam Qa’idah ini tidak kurang dari 314
masalah fiqih.[36]
Menurut Ibn Mandzur, Al-Yakin adalah mengetahui,
menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan
kebalikan dari al-syak.[37]
Sedangkan menurut Muhammad Shidqi bin Muhammad;
المعنى اللغوي: اليقين: هو
طمأنينة القلب على حقيقة الشيء والشك في اللغة: هو مطلق
التردد، أو هو التردد بين النقيضين دون ترجيح لأحدهما.[38]
Secara bahasa, al-Yakin adalah kepercayaan hati pada
kebenaran/kenyataan tertentu. Sedangkan al-Syak adalah keraguan atau
bimbang antara dua hal yang berlawanan tanpa adanya penguatan terhadap salah satunya.
Dalam kitab “al-Wajiz fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah”
dijelaskan bahwa Qa’idah Furu’ (cabang) dalam Qa’idah ini ada 13 macam[39],
diantaranya:
1.
(الأصل بقاء ما
كان على ما كان)
“Menurut hukum asal, sesuatu itu dilihat (dihukumi) menurut keberadaan
awalnya secara apa adanya”
2.
(الأصل براءة الذمة)
“Secara
hukum, asal seseorang itu terbebas dari segala tanggungan”
3.
(ما ثبت بيقين لا
يرتفع إلا بيقين)
“Sesuatu yang telah menetap berdasarkan keyakinan, tidak dapat
hilang kecuali dengan keyakinan pula”
4.
(الأصل العدم)
“Menurut
hukum asal, sesuatu itu tidak ada"
5.
(الأصل إضافة الحادث
إلى أقرب أوقاته)
“Secara hukum
asal, sesuatu yang baru datang itu dikira-kirakan (dikembalikan) pada waktu
yang terdekat.
6.
(الأصل في الأشياء
الإباحة أو الأصل في الأشياء الحرمة(
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan atau hukum
asal dari segala sesuatu itu haram”
3)
Qaidah Fiqhiyyah Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan
mendatangkan kemudahan”
Qaidah
ini merupakan dasar penting dari sumber syari’ah. Mayoritas dispensasi syari’
didasari oleh Qa’idah ini. Selain menjadi qa’idah fiqhiyyah, Qa’idah ini juga
menjadi Qa’idah ushuliyyah al-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah yang
memiliki sifat qath’i, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi
landasan tumpunya sangat sempurna. Karena menurut al-Syaitibi, dalil-dalil
tentang dispensasi (menghilangkan kesulitan) sudah mencapai tingkat qath’i.[40]
Berikut
dalil-dalil yang menjadi penopang Qa’idah ini beserta cabang-cabangnya:
الأدلة من الكتاب العزيز:
قوله تعالى: (يُريدُ الله
بكُمُ اليسر ولا يريدُ بكم العُسر) . البقرة، آية (185)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”
ثانياً: من السنة المطهرة: قوله عليه الصلاة والسلام:
(بعثت بالحنيفية السمحة)
“Saya (Rasulullah) diutus dengan membawa agama yang
simpatik/lurus dan mudah/ fleksibel”
ثالثاً: ما ثبت من مشروعية الرخص:
“Seperti adanya keringanan qashar, berbuka puasa, dan
jima’ dan makan makanan haram dalam keadaan darurat”
Sebab-sebab timbulnya keringanan:
1). السفر bepergian,
2) المرضsakit , 3) الإكراه
terpaksa, 4) النسيان
lupa, 5) الجهل kebodohan, 6). النقص kurang mampu, 7). العسر kesukaran.
Macam-macam keringanan:
1). تخفيف إسقاط keringanan
pengguguran, 2). تخفيف
تنقيص keringanan pengurangan, 3). تخفيف إبدال keringanan
pengganti, 4). تخفيف
تقديم keringanan mendahulukan, 5). تخفيف تأخير keringanan
mengakhirkan, 6). تخفيف
ترخيص keringanan kemurahan, 7). تخفيف تغيير keringanan dengan
perubahan.
Dalam kitab “al-Wajiz
fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah” dijelaskan bahwa Qa’idah Furu’
(cabang) dalam Qa’idah ini ada 8 macam[42]:
1.
(إذا ضاق الأمر
اتسع من قول الإمام الشافعي رضي الله عنه) .
“Ketika
sesuatu perkara telah menjadi sempit, maka harus diperlonggar”
2.
(إذا اتسع الأمر ضاق)
“Ketika sesuatu perkara telah menjadi longgar, maka harus
dipersempit”
3.
(الضرورات تبيح
المحظورات)
“Keadaan
terdesak memperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang”
4.
(ما أبيح للضرورة
يقدر بقدرها)
“Apa
yang diperbolehkan karena darurat, hendaklah diukur dengan ukurannnya.”
5.
(ما جاز لعذر بطل
بزواله)
“Segala sesuatu yang kebolehannya karena adanya alasan kuat (uzur),
maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.”
6.
(الحاجة تنزل منزلة
الضرورة عامة كانت أو خاصة)
“Hajat
(keperluan) kadang menempati tempat darurat”
7.
(الاضطرار لا يبطل
حق الغير)
“Kondisi terpaksa tidak membatalkan
hak orang lain”
8.
(إذا تعذر الأصل
يصار إلى البدل)
“Apabila sukar menggunakan Hukum
Asal maka bisa menjadikan penggantinya sebagai hukum”
4)
Qaidah Fiqhiyyah Keempat
(لا ضرر ولا ضرار[43]) أو (الضرر يزال) .
“Tidak
ada bahaya dan tidak juga membahayakan atau kemadharatan itu harus dilenyapkan”
Seperti yang dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Salam bahwa
tujuan syariah adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah
tersebut di atas kembali pada tujuan untuk merealisasikan maqashid
al-syari’ah dengan menolak yang mafsadat, dengan cara menghilangkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan Qa’idah di atas:
a.
Larangan
menimbun barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan
b.
Adanya
berbagai macam sanksi dalam Fiqih jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga
untuk menghilangkan kemudaratan
c.
Dalam
pernikahan adanya aturan talaq untuk menghilangkan kemudaratan yang
lebih besar dalam kehidupan rumah tangga..[44]
d.
Pembeli
boleh memilih barang karena adanya cacat
e.
Boleh
membatalkan pernikahan karena adanya aeb
Qa’idah ini melarang berbuat bahaya dan menunjukkan wajibnya
menghilangkan bahaya, jika bahaya itu telah terjadi. Ayat al-Qur’an yang
senafas dengan Qa’idah ini adalah QS Al-Baqarah ayat 231:[45]
(وإذا طلقتُم النِساءَ فبَلَغنَ أجَلَهُنَّ فأمسِكُوهُنَّ
بمعروفٍ أو سَرِّحوهُنَّ بمعروفٍ ولا تُمسِكُوهُنَّ ضِراراً لتَعْتدُوا) . سورة البقرة،
آية (231)
“Apabila
kamu mentalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau cereaikanlah mereka dengan cara
yang ma’ruf pula. Jangan rujuki mereka dengan memberi kemadaratan karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka”
Dalam kitab “al-Wajiz fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah”
dijelaskan bahwa Qa’idah Furu’ (cabang) dalam Qa’idah ini ada 6 macam[46]:
1.
الضرر يدفع بقدر الإمكان
“Suatu bahaya harus ditolak sesuai kemampuan”
2.
الضرر يزال
“Kemadharatan itu harus dilenyapkan”
3.
(الضرر
لا يزال بمثله) أو (الضرر لا يزال بالضرر)
“Sesuatu dlarar tidak boleh dihilangkan dengan dlarar”
4.
الضرر الأشد يزال بالضرر
الأخف.
“Dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang lebih
ringan”
5.
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر
عام
“Melakukan dlarar yang khusus untuk menolak dlarar yang umum”
6.
درء المفاسد أولى من جلب
المصالح
“Menghilangkan kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan”
5)
Qaidah Fiqhiyyah Kelima
(العادة
محكَّمة)
“Kebiasaan (tradisi) itu bisa menjadi hukum”
Qa’idah
ini termasuk ke dalam Qa’idah-qa’idah yang terbangun secara kuat di atas
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits. Selain menjadi Qa’idah fiqhiyyah, qa’idah
ini juga termasuk ke dalam qa’idah ushul fiqih. Kebiasaan (tradisi) adalah
salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya transformasi
hukum syar’i.[47]
Diantara
ayat-ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mendukung Qa’idah ini diantaranya:
وقوله تعالى: (وَلَهُنَّ مِثْلُ الذي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ) . سورة
البقرة، آية (228)
“Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (kebiasaan baik yang
sudah diketahui)”
Firman Allah SWT dalam QS.
Al-Baqarah ayat 178:
وقوله تعالى: (فَاتْبِاعٌ
بِالمَعْرُوفِ وأدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ) . سورة البقرة، آية (178)
“Hendaklah
(yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula).”
Dalam
kitab “al-Wajiz fii idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah”, al-‘Adah menurut
bahasa adalah at-Tikrar artinya berulang-ulang.[48] Menurut
al-Zarqa, al-‘Adah merupakan sesuatu yang terus menerus (kontinu)
dilakukan, diterima oleh tabi’at yang sehat, serta terjadi secara
berulang-ulang. Kebiasaan ini disebut al-‘Urf al-‘Amaliy.[49]
Al-Hindi
membagi adat atau urf menjadi tiga bagian;
1.
Al-‘Urfiyah
al-‘Ammah
2.
Al-‘Urfiyah
al-Khasshah, contoh: rafa’,
nasab, dan jar bagi kalangan nahwu
3.
Al-Urfiyah
al-Syari’ah, contoh; istilah
shalat, puasa, haji, dan lainnya.
Contoh-contoh:
a. Seseorang menjual sesuatu dan
memutlakannya, maka
ditetapkan atas yang biasa
b.
Jual beli
yang berlangsung biasa, sesuai dengan harga / nilai yang biasa, misalnya dengan dirham
c.
Masuk WC,
dan makan jamuan karena bertamu, maka kembali pada kebiasaan, gratis dan tidaknya
d.
Boleh
tetap diam di atas orang yang luka, jika ia pindah akan mati yang lain
e.
Memberi
upah pada penjahit dan upah melukis, maka tentang benang dan cat lukis kembali
pada kebiasaan, yaitu sudah termasuk di dalamnya.
Dalam kitab “al-Wajiz fii idhahi
Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah” dijelaskan bahwa Qa’idah Furu’ (cabang)
dalam Qa’idah ini ada 11 macam, diantaranya[50]:
1. (استعمال الناس حجة يجب العمل بها)
“Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, bisa dijadikan
dalil (hujjah) yang wajib diamalkan”
2.
(إنما تعتبر العادة إذا اطردت
أو غلبت)
“al-‘Adat
yang diperhitungkan (oleh syar’i) hanyalah apabila berlaku dan umum”
3. (العبرة
للغالب الشائع لا للنادر)
“Yang
diperhitungkan adalah kebiasaan umum dan menyeluruh, bukan kebiasaan yang
langkah atau jarang”
4.
(المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً)
“Sesuatu
yang sudah diketahui secara umum hukunya sama dengan syarat yang disyaratkan”
5.
(التعيين بالعرف كالتعيين
بالنص)
“Sesuatu
yang ditentukan oleh kebiasaan umum, sama dengan sesuatu yang ditentukan oleh
dalil nash”
G.
Penerapan dan Pengembangan Qa’idah Fiqhiyyah Masa Kini
Dalam dunia ilmu, kita berdiri di atas pundak-pundak raksasa ilmu
masa lalu. Mengambil seluruh apa yang ada dari masa lalu tanpa koreksi dan
tanpa menggunakan daya piker kritis adalah tidak bijak dan tidak realistis
karena kita hidup pada masa kini. Dimana masyarakat telah jauh berkembang,
tantangan-tantangan yang dihadapi makin berat, makin banyak, dan dunia telah
menyatu. Walaupun demikian, peluang untuk menyongsong masa depan yang lebih
baik tetap terbuka.
Dalam mengahadapi perubahan di berbagai kehidupan cepat ini adalah
tepat apabila kita gunakan Qa’idah Fiqih ini:
المحافظة
على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Memelihara keadaan lama yang
maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat”
Fikih
juga mulai bergeser dari materi yang ada dalam kitab-kitab ulama kepada qanun,
peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Meskipun
tetap menggunakan materi-materi fikih sebagai bahan dalam pembentukan qanun.
Secara lebih khusus lagi, mulai berkembang dari fiqh muamalah kepada system
ekonomi Islam dengan salah satu subsistemnya lembaga-lembaga keungan syariat,
baik itu perbankan syariah, pasar modal syariah, obligasi syariah dan
lain-lain.
Di
bidang peradilan mulai berkembang dari fikih satu madzhab kepada
perundang-undangan yang diambil dari banyak madzhab. Selain itu juga mulai
tampak dalam perkara perdata, mulai ada perkembangan penyelesaian tidak hanya
melalui pengadilan tapi juga melalui arbitrase atau dalam istilah hukum Islam
disebut tahkîm. Tahkîm memiliki dasar dalam Al-Qur’an surat
an-Nisaa’ ayat 35. Di Indonesia, UU tentang arbitrase juga sudah keluar, yaitu
UU No.30 Tahun 1999. Dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, baik pengadilan maupun
arbitrase telah diakui dan dilaksanakan kedua-duanya (Pasal 1784, 1790, 1841,
1851).
Imam
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya, al-Asybâh wa al-Nazhâir,
menyebutkan ada 20 kaidah yang masih terdapat perbedaan pendapat para ulama.
Kemudian dipersingkat dan adapula ditarjih oleh ulama-ulama yang datang
kemudian.[51]
Dikatakan
bahwa makin luas cakupan dari ruang lingkup suatu kaidah fikih, makin sedikit
kekecualiannya dan kemungkinan adanya kesepakatan ulama makin tinggi.
Sebaliknya, makin sempit ruang lingkup dan cakupan suatu kaidah, makin banyak
kekecualiannya, dan kemungkinan kesepakatan ulama makin rendah dalam arti
perbedaan pendapatnya makin banyak.
Dalam
bidang kaidah-kaidah fikih menurut hemat penulis belum begitu tampak
perkembangannya. Diskusi-diskusi tentang kaidah fikih pun masih jarang
dilakukan. Padahal pengembangan kaidah fikih yang belum mapan sangat
diperlukan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dan dikaji ulang. Misalnya :
(1) kaidah-kaidah yang masih diikhtilafkan di kalangan para ulama yaitu
kaidah-kaidah fikih yang masih diperdebatkan baik subtansinya maupun
formulasinya, apakah akan menjadi kaidah fikih yang mapan atau akan hilang dalam
kesejarahan dan keilmuan Islam; (2) kaidah yang sudah ada dan bisa diterima
oleh mayoritas ulama, akan tetapi masih mungkin untuk dikritisi untuk
penyempurnaannya, baik kaidah umumnya, kiadah khususnya, atau kaidah
tafshiliyah-nya; (3) memunculkan kaidah-kaidah fikih yang baru karena kebutuhan
masyarakat telah jauh berkembang, misalnya kaidah tentang lingkungan hidup,
kemanusiaan, kelautan, dan lain-lain.
Memang
masih ada kejumbuhan (percampuran) antara kaidah fikih dan kaidah ushul
seperti:
إِذَا تَعَذَّرَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَازِ
“Apabila
suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Ahmad
al-Nadwi menginventarisasi dari 412 kaidah fikih termasuk kaidah tafshiliyah-nya
(dhabith), ada 43 kaidah ushulnya. Artinya 10% dari kaidah fikih yang ada
adalah kaidah ushul fiqh. Dalam hal ini setidaknya ada hal yang perlu diteliti
lebih jauh[52]:
Pertama, apakah terbentuknya kaidah fikih tadi melalui
penghimpunan materi-materi fikih dahulu, kemudian kaidah fikih tadi setelah
terbentuk lalu dirujukkan kepada banyak ayat dan hadits, atau kaidah tadi
langsung disimpulkan dari ayat dan hadits nabi dengan menggunakan pendekatan
bahasa atau pendekatan filosofis. Apabila cara pertama yang ditempuh maka
itulah kaidah fikih. Sedangkan apabila cara yang kedua yang ditempuh maka
itulah kaidah ushul. Kedua, sering juga terjadi menggunakan cara
kedua-duanya tetapi hasilnya sama atau mirip, seperti ulama ushul menggunakan
kaidah:
الأَصْلُ
فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Hukum
asal dari segala sesuatu itu boleh”
Kaidah
ini berdasarkan istishab. Sedangkan ahli kaidah fikih berdasarkan
penelitiannya terhadap materi-materi fikih dan pembidangan fikih mempersempit
ruang lingkup kaidah tersebut menjadi:
الأَصْلُ
فِي الْمُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحرِيْمِهِمَا
“Hukum
asal dari semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengaramkannya”
Adapun
untuk bidang fikih ibadah justru sebaliknya, seperti telah dijelaskan dalam
kaidah di bidang mahdhah (hubungan manusia dengan Allah). Jadi tidak sama
antara kedua kaidah tersebut, yang satu kaidah ushul sedang yang kedua adalah
kaidah fikih. Bahkan, ketika merujukkan kaidah fikih yang telah disimpulkan
tadi ternyata kaidah tadi bertemu dengan hadits, seperti kaidah fikih:
لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
“Tidak
boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan”
Ulama
kaidah fikih dan fuqaha menyebutnya sebagai kaidah fikih karena merupakan hasil
dari kesimpulan studi fikih. Sedangkan muhaddits (ahli hadits) menyebutnya
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibnu Majah dari Sa’id
al-Khudri dan Ibnu Abbas. Dengan dukungan hadits di atas. Kaidah “lâ dharara
wa lâ dhirâra” kadar kebenarannya menjadi tinggi.
Ketiga,
dilihat dari sisi bahwa hukum Islam itu merupakan satu sistem hukum yang selalu
berhubungan di antara sub-subsistemnya, maka tidak mengherankan apabila orang
agak sulit membedakan antara kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih. Oleh karena
itu, sering mencampurbaurkan saja antara kaidah ushul dengan kaidah fikih.
Untuk kepentingan yang praktis barangkali tidak terlalu masalah bisa digunakan
kaidah fikih atau kaidah ushul. Tetapi, untuk kepentingan akademik hal ini
menjadi perlu diteliti lebih jauh.
[1]
Disusun oleh Hilman Rasyid untuk disampaikan dalam mata kuliah Islamic Law
SPs UIN Jakarta
[2]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset,
2004) hlm. 2-4
[3]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset,
2004) hlm. 10
[4]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta, Radar Jaya Offset:
2004) hlm. 13-18
[5]
Ali Ahmad Al-Nadw. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. (Beirut: Dar
al-Qalam.1998) hlm. 26
[6]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 12
[7]
Ali Ahmad Al-Nadw. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. (Beirut: Dar
al-Qalam.1998) hlm. 27
[8]
Muhammad Thohir Mansori. Kaidah-Kaidah Fiqih. (Bogor: Ulil Albab
Institute, 2009) hlm 14-17
[9]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 13-14
[10]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 19-22
[11]
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (Iskandariyah:
muassasah tsaqofah al-Jamiiyah, .1983). hlm. 4.
[12]
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: bulan bintang, 1975).
hlm. 25
[13]
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan bintang, 1976) hlm 11.
[14]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakartal Amzah, TT) hlm. 13.
[15]
Hamdi bin Abdullah bin Abdul Aziz. Syarh
Mandzumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Lisya’di. Juz 1 (Durus Shautiyyah, TT) hlm.
6
[16]
Muhammad
Amim al-Ihsan. Qawa’id al-Fiqhi. Juz 1 (Karachi, Pakistan: 1986) hlm
52-144
[17]
Ahmad
bin Syekh Muhammad az-Zurqa. Syarh Qawa’id Fiqhiyyah. (Suria: Dar
al-Qalam, 1989) hlm 47-475
[18]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta, Radar Jaya Offset:
2004) hlm 63
[19]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta, Radar Jaya Offset:
2004) hlm 64
[20]
Amrilsyah Lubis. Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawa’id Fiqhiyyah) hal. 3-4
[21]
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, (Lembaga Kajian
Agama dan Sosial (LKAS): Banda Aceh, 2011) hal. 4
[22]
Abdul Mughits. Kritik Nalar Fiqh Pesantren. (Jakarta: Kencana, 2008)
hlm.36-38
[23]
Ahmad S. Abbas. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta, Radar Jaya Offset:
2004) hlm 65
[24]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm. 2
[25]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 122
[26]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 123
[27]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 125
[28]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm. 12
[29]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm. 13
[30]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 127
[31]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 24-26
[32]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 147-152
[33]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 43
[34]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 166-167
[35]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm. 47
[36]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 45
[37]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 48
[38]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 168
[39]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 172-191
[40]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 77
[41]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 219-220
[42]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 230-246
[43]
HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri dan HR Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas
[44]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 67-68
[45]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 126
[46]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 256-265
[47]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 155
[48]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 273
[49]
Ahmad S. Abbas. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Radar Jaya Offset: 2004)
hlm 164
[50]
Muhammad
Shiddieqy bin Ahmad. al-Wajiz fi idhahi Qawa’id Fiqhi al-Kulliyyah. (Libanon:
Lembaga ar-Risalah, 1996) hlm 292-310
[51]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 193-196
[52]
Djazuli, H.A. Kaidah- Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis. (Jakarta: Kencana: 2007) hlm 199-200
0 Response to "Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Sebagai Hukum Syar'i"
Post a Comment