ALIRAN
MU’TAZILAH;
PEMIKIRAN
& PERKEMBANGANNYA
A.
Pendahuluan
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai
dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika
dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam
itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan
bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Lapangan
pemikiran umat Islam terbagi kepada empat: bidang Ketuhanan ; bidang akhlak
(etika); bidang fisika; bidang eksakta. Pemikiran umat Islam tentang keempat
hal tersebut membawa perkebangan terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Terkait dengan permasalahan ketuhanan, banyak konsep-konsep pemikiran yang
muncul, sebab Ketuhanan merupakan hal mendasar dalam ajaran Islam. Tuhan
merupakan hal yang Maha Ghaib, sehubungan dengan maha ghaibnya Tuhan, maka
munculah bermacam-macam konsep pemikiran rasional. Masalah-masalah ini menjadi
kajian dalam teologi dan dibahas secara rasional oleh aliran Mu’tazilah,
As’ariyah, Maturidiyah dan lain sebagainya, sedangkan dalam filsafat termasuk
pada kajian metafisika.
Golongan
Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam melalui dialogis
filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi Islam melaui
argumentasi logis.[1]
Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya, jika mereka tidak
mengetahui pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya wilayah Islam menjadi arena
perdebatan bermacam-macam pendapat, hal ini mempengaruhi masing-masing pihak,
diantaranya menggunakan argumentasi rasional dalam menjelaskan dan
mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat Islam mempelajari metoda-metoda
filsafat Yunani untuk digunakan dalam menjelaskan dan mempertahankan ajaran
Islam, diantaranya adalah golongan mu’tazilah.
Mu’tazilah[2]
adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal. Dalam
menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika akal. Mu’tazilah
adalah aliran filsafat dalam dunia Islam abad ke 8 dan ke 9. Aliran ini
mengajarkan lima prinsip (al-usul al khamsah) untuk menyelamatkan Islam dari
kehancuran. Aliran ini dirintis oleh Wasil bin Ata’ (700-749) dengan
menggunakan filsafat Aristoteles, dengan memakai baju Arab dan di warnai
‘itiqad Islam. Diantara masalah-masalah pokok yang menjadi pusat perhatain
mu’tazilah adalah pembahasan tentang tindakan manusia. Apakah manusia bebas
melakukan tindakannya atau hanya menjalankan kehendak Tuhan (terpaksa).
Abdul
Al-Jabbar, salah seorang tokoh popular mu’tazilah dalam bukunya “Syarh al
Ushul al-khamsah” menjelaskan bahwa perbuatan manusia itu tidak diciptakan
pada diri mereka, melainkan manusia itu sendiri yang mewujudkan perbuatannya.
Hal ini menunjukan perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan , namun
yang diciptakan Tuhan hanyalah daya, dan manusia menggunakan daya tersebut
dalam mewujudkan perbuatan.
Mu’tazilah
mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”[3]
dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak
berobah, ia dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan
penyelidikan dan penelitian. Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M)
salah seorang tokoh sentral mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan
hanyalah benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad” atau “accidents”
adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature”
seperti, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk
pilihan (ikhtiar) seperti, antara gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya
yang dilakukan binatang. Ini menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan
pada hukum alam yang terdapat dalam paham mu’tazilah.[4]
Mu’tazilah
juga mengakui bahwa kebebasan manusia dibatasi oleh hukum alam (sunnatullah)
yang berlaku. Hukum alam ini merupakan kadar yang telah ditentukan Allah.
Manusia bebas berbuat dan berkehendak dalam qoridar kadar hukum alam yang telah
ditetapkan, hukum alam memposisikan manusia sebagai subjek yang harus
menanggapinya secara proaktif.
B.
Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada
tahun 131 H.
Secara
bahasa, Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala, ta’azzala dan I’tazala.
Artinya mengasingkan diri, menyingkir dan memisahkan diri. Ada beberapa
pandangan, mengapa mereka disebut Mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang
mengasingkan dan memisahkan diri. Mereka adalah Amr bin Ubaid, Washil bin Atha’
al-Ghazzal dan para pengikutnya. Mereka disebut demikian, saat memisahkan diri
dari jama’ah setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri awal abad kedua. Ketika itu
mereka dalam majelis dengan memisahkan diri dari jama’ah, maka Qatadah dan
lainnya mengatakan, “mereka adalah Mu’tazilah.”[5]
Pendapat pertama,
pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (I’tizal siyasi),
dimana mereka menamakan diri dengan mu’tazilah ketika Hasan bin Ali membai’at
Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka menetap di
rumah-rumah dan masjid-mesjid. Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih karena
perdebatan (I’tizal kalam) mengenai hukum pelaku dosa besar antara imam
Hasan al-Bashri dengan Washil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan
Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy[6].
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil
Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang
melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih
dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat
Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut.[7]
Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut
tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka
dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan
kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.[8] Namun
ada yang berpendapat bahwa mazhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah
Washil, walaupun banyak Ahlu al-Bait yang menempuh pola pikir yang sama
dengannya, seperti Zaid ibn ‘Ali yang merupakan teman dekat Washil. Washil
sendiri adalah salah seorang penyiar paham ini yang menonjol sehingga
kebanyakan ulama memandang dialah tokoh utamanya.
Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena
mereka terdiri dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan
menolak hidup bersenang-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang
yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.
Namun tidak semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagian bertaqwa, dan
ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan maksiat.
Almarhum Dr. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam berkata, di
antara sekte Yahudi yang berkembang waktu itu dan sebelumnya, ada sekte yang
bernama Frosyem, yang artinya Mu’tazilah (mengasihkan diri). Jadi
bisa saja kata Mu’tazilah ini dipakaikan pada sekelompok orang yang
memeluk Islam karena melihat adanya persamaan di antara keduanya. Diantara
antara persamaan yang besar Mu’tazilah Yahudi dan Mu’tazilah Islam
ialah yang pertama menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan
yang kedua mena’wilkan semua sifat-sifat (Tuhan) yang disebutkan dalam
al—Qur’an sesuai dengan logika filsafat juga.[9]
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang
dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah).[10]
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal
lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan
akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan
dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus
dibuang atau ditakwil.[11]
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka
Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan
yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai
akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam.[12]
C.
Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal Washil Ibn Atha, pokok-pokok
pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau
Lima ajaran dasar. Abu al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya al-intishar
menyatakan: “tak seorang pun mengaku sebagai penganut Mu’tazilah sebelum ia mengakui al-ushulal-khomsah (lima
pokok ajaran) sebagai dasar pemikiran pahamnya, yaitu: al-Tauhid,
al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah baina al-Manzilatain, al-Amr bi al-Ma’ruf
wa al-Nahi an al-Munkar.[13]
1) al-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan
milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka
dengan Ahl al-Tauhid.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya
hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada
tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti
ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka,
melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim,
al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang
terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama,
sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah Dzatiyah, dan
Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk,
dikategorikan Shifah Fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui
eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah
‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana
pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain
al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia
berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud
al-qudama’),[14]
yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah
dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang
Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم
بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan
Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan
Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu
dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf
yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib .
Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah
istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT
sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka
mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak
bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah
sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab
“bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat
ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
وكلم الله موسى تكليما
[النساء:١٦٤]
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT
menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon
tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan
kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa,
lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar
mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim
seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur
dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat
dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan
dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena
menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara
“yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar
ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti
berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian,
oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang
menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
وجوه يوميذ نا ضرة – إلى ربها ناظره
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية)
malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata
(الآلاء)
yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti
nikmat dari Tuhannya”.[15]
Mereka juga mentakwil ayat:
الله نور السموت و الارض
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa
dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.Sedangkan
terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di surga bisa melihat Allah bahkan
kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini
tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu:
“Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau
membatasi jihat bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu
tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam
al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan
ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan
lain sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan
manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga
memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah
Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan
dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan akal,
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuatdi dalam Al Quran. Mereka berpegang
pada ayat:
[الشورى:١١].....ليس كمثله شئ......
Artinya: “...Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”(QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi
takwil terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu
dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga
hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75)di artikan kekuasaan
dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata
wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS.
Thaha: 5) diartikan kekuasaan.[16]
2) Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-Tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari
persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan
perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak
dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak
dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-Tauhid
wa al-‘Adl.[17]
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa
manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari
ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan
demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi
manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk
membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya
manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus
diutus Rasul.[18]
3) al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘Adl Golongan
Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi
orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang
berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.
Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al-Muthi’)
dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-‘Ashi)pasti
terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang
bertaubat nasuha pasti benar adanya.[19]
4) al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua
posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal
persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah.
Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang
tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara
dua posisi.[20]
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan
kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap
mukmin, tidak kekal di neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah.
Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak
kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari
orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan
pendapat Murjiah.
5) al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah
untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja,
tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu
pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan
atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup
dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat
kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang
untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi
bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai
bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq
(pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin
dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang
sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini
terletak pada tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.[21]
D.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Mu’tazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-Manzilah
baina al-Manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari
tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-Manzilah
baina al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian Nafy
al-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang Qadim selain
Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar
zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu Qadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia
agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat;
kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.
Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni
kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliah)
dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wajibah syar’iah).
4. al-Nazzam
Pendapat al-Nazzam yang
terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak
berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka al-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan
tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.[22]
Ia juga mengeluarkan
pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak
pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak Qadim.[23]
5. al- Jahiz
al-Jahiz dalam
tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalisme atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad
adalah pendiri mu’tazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada
hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa
Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘Arad atau accidents
(sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang
dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr
al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak
kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat,
lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia
telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap
sebagai pemimpin mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah
SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat
bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya
sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga
dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
E.
Logika Kaum Mu’tazilah
Dalam menemukan dalil untuk menetapkan aqidah, Mu’tazilah berpdegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
diketahui selain dengan dalil naqli (nash). Kepercayaan mereka terhadap
kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap
perintah-perintah syara’. Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal,
yang dapat diterima akal, mereka akui; dan yang tidak dapat diterima akal
mereka tolak. Sebab-sebab yang mempengaruhi mereka bersikap seperti itu adalah:
1)
Basis
mereka adalah Irak dan Persia. Di kedua tempat ini terdapat suasana dialogis di
antara sisa-sisa kebudayaan dan peradaban kuno.
2)
Kebanyakan
mereka bukan keturunan bangsa Arab, melainkan al-mawali
3)
Banyak
pemikiran kefilsafatan kuno yang mempengaruhi alam pikiran mereka akibat mereka
banyak bergaul dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan lain-lain, lalu mereka
membawa pikiran-pikiran tadi dan menyebarkannya pada bahsa Arab.
Mereka mengatakan, “Semua pengetahuan dapat dipikirkan dengan akal,
dan kebenarannya mesti diuji oleh akal. Mensyukuri nikmat sudah wajib sebelum
turunnya wahyu. Baik atau buruk merupakan sifat esensial dari kebaikan dan
keburukan itu sendiri”
Al-Jubba’i, salah sseorang tokoh Mu’tazilah, telah berkata,
“Semua perbuatan maksiat yang bisa saja Allah memerintahkannya, maka perbuatan
itu menjadi buruk karena adanya larangan, sedangkan perbuatan maksiat yang
Allah tidak mungkin membolehkannya, maka perbuatan itu buruk karena dirinya
sendiri, seperti tidak mengetahui Tuhan dan meyakini yang bukan Tuhan sebagai
Tuhan. Demikian juga semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan kecuali karena
perintah Allah, maka perbuatan itu menjadi baik karena diperintahkan, dan semua
perbuatan semestinya diperintahkan Allah, maka perbuatan itu adalah baik karena
dirinya sendiri.”[24]
Ada dua hal yang mendorong mereka untuk mempelajari filsafat. Pertama,
mereka menenukan dalam filsafat Yunani keserasian dengan kecenderungan
pikiran mereka Mereka kemudian menjadikannya sebagai metode berpikir yang membuat
mereka menjadi lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi. Kedua, ketika
para filosof dan pihak-pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam
dengan argumentasi-argumentasi logika, Mu’tazilah dengan gigih menolak
mereka menggunakan sebagian metode diskusi dan debat mereka. Mu’tazilah banyak
mempelajari filsafat agar dapat mengalahkan mereka. Dengan begitu, Mu’tazilah
menjadi filosof-filosof Islam.[25]
F.
Keruntuhan Aliran Mu’tazilah dan Dampaknya
Setelah beberapa puluh
tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya
mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka
sendiri, mereka hendak membela/ memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi
mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat
mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika al-Makmun menjadi khalifah dimana
mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan
lain dengan menggunakan kekuasaan al-Makmun (dijadikan sebagai ideology resmi
Negara), yang mengakibatkan timbulnya peristiwa Qur’an yang memecah kaum
muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan akal-fikiran dan
menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh kepada
bunyi nash-nash Qur’an dan hadits semata-mata dan menganggap tiap-tiap yang
baru sebagai bid’ah dan kafir.
Dengan demikian timbullah sejarah Islam yang
disebut sebagai al-Mihnah atau inquisition. Gerakan al-Mihnah
tersebut mempunyai tujuan ganda yaitu: pertama, ia ingin membersihkan
para aperatur pemerintahannya dan pemimpin-pemimpin masyarakat dari
perbuatan-perbuatan syirik. Kedua, ia ingin memperbesar pengikut Mu’tazilah
yang minoritas itu. Akan tetapi fakta menunjukkan, al-Mihnah sama sekali tidak
menguntungkan bagi khalifah, lebih-lebih bagi Mu'tazilah. Akibatnya, Mu'tazilah
kehilangan simpati di kalangan masyarakat, karena di anggap sebagai sumber
bencana. Melalui al-Mihnah, al-Makmun
berharap agar Mu'tazilah memperoleh pengikut dan simpatisan yang banyak, tetapi
yang terjadi malah sebaliknya, Mu'tazilah dirugikan dan lawan-lawannya semakin
banyak.
Akan tetapi
persengketan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan al-Mutawakil, lawan
golongan Mu’tazilah untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai
keazalian al-Qur’an. Sejak saat itu golongan Mu’tazilah mengalami tekanan
berat. Kitab-kitab mereka dibakar dan kekuatannya dicerai-beraikan sehingga
kemudian tidak lagi aliran Mu’tazilah sebagai golongan, terutama sesudah al-Asy’ary
dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.[26]
Pasca keruntuhan
Mu’tazilah, umat islam mengalami kejumudan dalam berpikir dan kecenderungan
literalistik. Selain Ahli Hadits dan kaum Hambali, muncul pula sejumlah
kelompok lain seperti: Karramiyah (pengiut Muhammad bin Karam Sejistani (w. 256
H)) dan Zahiriyah (pengikut Dawud bin Ali Isfahani (w 270 H)). Mereka
mendeklarasikan diri sebagai penentang mazhab rasionalis Mu’tzilah dan
sebaliknya justru berusaha menyebarluaskan literalisme (Zahiriyyah).
Munculnya sosok Asyari
(w.330 H) memang merupakan jalan tengah untuk mendamaikan kontroversi yang
mulai terbuka. Dampaknya bahwa pemikiran rasional yang sempat redup pasca
kejayaannya mulai kembali menggeliat. Namun demikian, banyak dari kalangan
intelektual kontemporer terus menanti reinkernasi pemikiran Mu’tazilah yang
sekalipun dalam pandangan mereaka, sudah tidak lagi memiliki celah untuk hidup
dan mekar ditubuh kalangan umat muslim pada kebanyakan (Ahli Sunnah). Justru
tumbuh dan berkembang di dunia Syiah. Mereka sangat menyayangkan kepunahan
Mazhab pemikiran ini.
Ahmad Amin, Peneliti
dan Penulis terkemuka asal Mesir, meratapi keruntuhan Mu’tazilah dengan
mengatakan; “Kematian Mu’tazilah sungguh musibah terbesar yang diderita
Muslimin. (Akibat ketidakpedulian terhadap mazhab ini) Muslimin telah
menganiaya diri sendiri.[27]
[1]Ahmad
Hanafi. Pengantar theology Islam, Cet. II (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1980) hlm. 18
[2]
Ismail Asy-Syarafa. Ensiklopedi terj. Shofiyullah Mukhlas, (Jakarta:
Pnt. Khalifa, 2002) hlm. 210
[3] Harun
Nasution. Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang Ce.8, 1991) hlm 105
[4] Harun Nasution. Filsafat Agama (Jakarta: Bulan
Bintang Ce.8, 1991) hlm 49
[5] Harun
Nasution. Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. (Jakarta:
UI press: 1986) hlm 38
[6]
Romly
Qomaruddin. Memahami Manhaj Islam Membedah Ummahatul Firaq.(Bekasi:
Al-Bahr Press: 2009) hlm 70
[7]Anwar
Rosihon. Ilmu Kalam (Bandung: PustakaSetia, 2007), hlm. 77-78.
[8]Muhammad bin Abdul
Karimal-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm. 46-48.
[9]
Imam Muhammad Abu Zahrah.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Terj.
Abd. Rahman Dahlan (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hlm.150
[10]Muhammad bin Abdul
Karimal-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm. 29.
[11]Abu al-Hasan
al-Khayyath, Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar,
1/65.
[12]Harun Nasution Teologi
Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986), 56.
[13]Ahmad
Muthohar, Teologi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. 1, hlm. 18.
[15]Abd. Al-Jabbar bin
Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, (Maktab Wahbab, Kairo,1965), 227.
[16]Abd. Al-Jabbar bin
Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, (Maktab Wahbab, Kairo,1965), 196.
[17]
Sirrajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah,(Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah, 2006), hlm. 191-193.
[18]Mahmud
Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, (Dar Al Mannar, Kairo, 1991),
130-131.
[19]M.
Muhaimin, Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1999) cet.1, hlm. 75.
[20] Abd.Mu’in
Thahir Taib, Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), hlm. 103.
[21]Harun Nasution,
Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986), hlm. 56.
[22] Fathul
Mufid, Ilmu Tauhid Kalam, (Kudus: STAIN Kudus,2009), hlm 116-120.
[23]Harun Nasution. Teologi
Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986), hlm. 56.
[24]
Imam Muhammad Abu Zahrah.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Terj.
Abd. Rahman Dahlan (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hlm.155
[25]
Imam Muhammad Abu Zahrah.Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Terj.
Abd. Rahman Dahlan (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hlm.156
[26]Ahmad
Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (PT Bulan Bintang, Jakarta, 1996),
hlm 56-57.
[27] Hasan
Yusufiyan, Ahman Husain Safiri. Akal dan Wahyu. (Jakarta: Sadra Press,
2011) hlm. 101.
0 Response to "BERFIKIR ALA MU'TAZILAH"
Post a Comment