Amr & Nahyu Sebagai Metodologi Istinbath

AL-AMRU WA AN-NAHYU
(PERINTAH DAN LARANGAN)[1]
A.  Pendahuluan
Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya. Disamping itu di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan lain yang memerlukan penyelesaian. Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Untuk itu, maka lahirlah metode Istinbath dalam ilmu Ushul Fiqh yang berupaya untuk menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar,metode Istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi bahasa, segi maqashid (tujuan) syariah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan (Ta’arud dan Tarjih)[2]
Objek utama yang dibahas dalam Ushul Fiqh adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih.
Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Untuk itu, para ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang sangat penting adalah mengenai Amr, Nahyi, Takhyir, ‘Am dan Khas, Mutlaq dan Muqayyad, Mantuq dan Mafhum, dari segi Wadih dan Gair Wadih, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan metode istinbat dari segi bahasa.[3]

B.   Al-Amru (Perintah)
1.        Konsep al-Amr
Dalam kitab Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in, secara bahasa Amr (bentuk jamaknya al-awaamir) merupakan urusan (asy-Sya-nun), kepatuhan atau penghakiman (al-Qadha), dan bisa juga diartikan meminta sesuatu (thalab asy-syain). Dan secara Istilah yaitu sebuah tuntutan dari al-Fa’il yaitu Allah SWT pada hambanya untuk mengerjakan apa-apa yang diperintahkan padanya secara keharusan atau juga kewajiban dan bukan merupakan pilihan antara dikerjakan atau tidak dikerjakan.[4]
Hakikat Amr (perintah) merupakan:
لفظ يراد به أن يفعل المأمور مايقصد من الأمر (طلب الفعل)
“Lafadz yang dikehendaki dengan dia supaya orang mengerjakan apa yang dimkasudkan”
Dalam hal ini tidak diperlukan yang menyuruh itu harus tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun tidak akan ditha’ati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi dari yang menyuruh. Namun sebagian ulama mensyaratkan dengan harus lebih tinggi derajat orang yang menyuruh dari yang disuruh.[5]
Sehingga secara ringkas, al-amr dapat diartikan sebagai tuntutan melakukan sesuatu perbuatan yang muncul dari pihak yang lebihh tinggi kepada pihak yang lebih rendah.
Sedangkan dalam Kitab Mu’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahli Sunnah Wal Jama’ah yaitu menyerukan pekerjaan dengan perkataan dari orang yang lebih tinggi pada orang yang lebih rendah. Jika tidak dalam bentuk perkataan, maka hal itu disebut isyarat dan bukan amr.[6]

2.        Bentuk-Bentuk al-Amr
Ungkapan atau bentuk al-amr dalam nash syara’ muncul secara bervariasi sebagaimana berikut:
a.         Format Fi’il Amr
فاقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة
“Dan dirikanlah olehmu sembahyang (shalat) dan tunaikanlah zakat” (QS. Al-Hajj: 78)
b.        Format Fi’il Mudhari’ yang Dilekati Lam al-Amr
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
“Hendaknya orang yang mampu memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Thalaq: 7)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa yang menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 185)

c.         Format Masdar yang Diposisikan sebagai Fi’il Amr
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ
“Maka, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), penggalah batang leher mereka” (QS. Muhammad: 4)

d.        Format Isim Fi’il al-Amr
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ
“Dan perempuan (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan ia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini!’” (QS. Yusuf: 23)

e.         Format Kalimat Berita yang Bermakna Perintah (Khabariyyah Lafdzan Insya’iyyah Ma’nan)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (10) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (11) يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya; niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu (QS. Al-Shaff: 10-12)
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan perempuan-perempuan yang dicerai (hendaknya) menahan diri mereka tiga kali quru’ (QS al-Baqarah: 228)[7]
f.         Format dengan memakai kata (Amaro) أمر (Kutiba) كتب (Faradha) فرض
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat…..” (QS. An-Nahl: 90)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishah…..” (QS. Al-Baqarah: 178)
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka…” (QS. Al-Ahzab: 50)[8]

3.        Macam-Macam Amr
Dalam Kitab Taisir Ushul Fiqh lil Mubatadi-in karya Muhammad Hasan Abdul Ghafar dijelaskan bahwa Amr dibagi ke dalam 3 macam:
1.          الأمر من الأعلى للأدنى،
Yaitu, Amr dari Tuhan pada hamba-Nya. Perintah ini wajib dikerjakan tanpa melambat-lambat.
2.          والأمر من الأدنى للأعلى،
Yaitu, Amr dari hamba pada Tuhannya; yang maksudnya adalah Do’a. Seperti perkataan: (اغفر) yang merupakan perintah yang bermaksud doa, harapan (ar-Roja’), merendahkan diri, dan penyerahan diri. Seperti Firman Allah SWT:
ومثله قوله تعالى: {قَالَ رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّ} [الأنبياء:112]،
“Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil.”
3.          والأمر من المقارن، أي: الذي يعتبر قريناً.
Yaitu, Amr antar sesama tingkatan atau derajat; dan makana perintah disini adalah permintaan (al-iltimas)[9]

4.        Makna-Makna al-Amr
Dalam kitab Mudzakkirah Ushul-Fiqh dijelaskan bahwa suatu bentuk perintah bisa keluar dari makna aslinya tergantung tujuan atau maksud, yaitu antara lain:
1-       للإِباحة مثل قوله تعالى: {كلوا واشربوا}
Untuk membolehkan; “Makan dan minumlah” (Qs. Al-A’raaf : 31).
2-       وللتهديد مثل قوله تعالى: {اعملوا ما شئتم}
Untuk ancaman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”. (QS Fushilat : 40) .
3-       وللامتنان مثل قوله تعالى: {كلوا من طيبات ما رزقناكم}
Untuk rasa syukur; “Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu”. (QS. Al Baqoroh : 172)
4-       وللإكرام مثل قوله تعالى: {أدخلوها بسلام آمنين}
Untuk memuliakan; "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman". (QS. Al- Hijr: 46)
5-       وللتعجيز مثل قوله تعالى: {فأتوا بسورة من مثله}
Untuk melemahkan; “Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23).
6-       وللتسوية مثل قوله تعالى: {واصبروا أو لا تصبروا}
Untuk penyelesaian; “….maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu…. (QS. at-Tuur: 16)
7-       وللاحتقار مثل قوله تعالى: {القوا ما أنتم ملقون}
Untuk penghinaan; "Lemparkanlah apa yang hendak kamu Lemparkan" (QS. As-Syu'ara: 43)
8-       وللمشورة مثل قوله تعالى: {فانظر ماذا ترى}
Untuk meminta saran; “Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (As-Shaffaat: 102)
9-       وللاعتبار مثل قوله تعالى: {انظروا إلى ثمره إذا أثمر}
Untuk mengambil pelajaran; “Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah” (QS. Al An'am: 99).
10- وللدعاء مثل قولك: {رب اغفر لي}
Untuk berdo’a; “Ya Tuhanku! Ampunilah aku” (QS. Nuh: 28)
11- وللالتماس: مثل قولك لزميلك: {ناولني القلم}[10]
Untuk permintaan; “Berikanlah pada sapa pena”

5.        Kaidah-Kaidah Amr
Dalam kitab Min Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahli Hadits dijelaskan bahwa 12 Kaidah[11]; namun diantaranya sebagai berikut:
1.          القاعدة الأولى: الأمر يدل على الوجوب
“Perintah menunjukkan pada kewajiban”
Jumhur Ulama sepakat bahwa Amr menunjukkan pada kewajiban. maka tidak boleh menghindar dari kewajiban kepada hal (hukum) lain kecuali ada qorinah yang menunjukkan akan hal itu.[12] Dengan demikian, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut.[13]
Contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, yaitu QS. Al-Baqarah: 283:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”
Perintah untuk menyerahkan barang jaminan utang dalam ayat tersebut oleh mayoritas ulama fiqh dipahami sebagai anjuran, karena bagian berikutnya dari ayat tersebut menjelaskan “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”[14]
2.          القاعدة الثانية: الأمر لا يقتضي الفور
“Suatu perintah tidak mengharuskan untuk dilakukan dengan segera”
Dalam kitab Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami memakai redaksi:
دلالة الأمر على الفور أو التراخي
“Suatu perintah haruskah dilakukan dengan segera mungkin atau bisa ditunda-tunda?”
Maksud “al-Amru lil Faur” bahwa seorang Mukallaf harus bertindak cepat untuk melakukan suatu perintah tanpa menunda-nundanya, karena adanya kemampuan untuk itu. Jika perintah tersebut ditunda-tunda maka ia telah berdosa. Sedangkan maksud “at-Tarakhi” bahwa seorang Mukallaf boleh mentaati perintah dengan segera atau boleh juga menunda-nudanya di lain waktu.
Namun jika terdapat Amr dibatasi dengan waktu, maka wajib dengan waktu yang diperintahkan seperti Shaum Ramadhan. Kemudian jika waktunya luas, maka boleh diawalkan, ditengahkan, dan diakhirkan. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai Amr (perintah) yang tidak dibatasi dengan waktu yang tertentu.[15]
Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menujukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, melainkan dari dalil lain misalnya secara umum terkandung dalam QS al-Baqarah ayat 148:
.فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ.
“…. Maka berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan…”
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), seperti dinukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.[16]
3.          القاعدة الثالثة: الأمر المطلق لا يقتضي التكرار
“Suatu perintah yang Mutlaq (tak dibatasi) tidak mengharuskan pada pengulangan”
Dalam kitab Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami memakai redaksi:
دلالة الأمر على المرة أو التكرار
“Suatu perintah haruskah dilakukan satu kali atau harus berulang kali?”
Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Jumhur ulama Ushuliyyin bersepakat bahwa Amr Mutlak tidak mengharuskan untuk pengulangan kecuali terdapat qarinah yang menerangkannya. Sehingga jika tidak ada qarinah maka Amr tersebut menunjukkan pada pengulangan. Seperti Firman Allah SWT:
 {وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا} [المائدة: 6]،
Maka wajib diulangi Thaharah-nya setiap terkena junub. Kemudian dalam ayat lainnya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ} [المائدة: 6]،
Maka wudlu tersebut harus terus dilakukan karena merupakan syarat dari shahnya shalat.[17]
Amr Muqayyid (dibatasi) terdapat 4 macam; Muqayyid bi Waqtin (waktu), Muqayyid bi Shifat (Sifat), Muqayyid bi Syartin (Syarat), dan Muqayyid bi ‘Adad (Bilangan).
a)         Muqayyid bi Waqtin (waktu), seperti shaum dan shalat (waqtun mu’ayyin) dan kifarat sumpah dan silaturahmi (waqtun ghair mu’ayyin). Shaum Ramadhan (waqtun mu’ayyin mudhayyaq) dan shalat lima waktu (waqtun mu’ayyin muwasi’)
b)        Muqayyid bi Shifat (Sifat), seperti pencuri harus dipotong kedua tangannya (QS. Al-Maidah: 38)
c)         Muqayyid bi Syartin (Syarat), seperti harus bersuci ketika junub (QS. Al-Maidah: 6)
d)        Muqayyid bi ‘Adad (Bilangan), seperti shalat dua rakaat di belakang al-Maqom, memberi makan 60 orang miskin bagi kifarat sumpah, rajam orang berzina ghair muhshon seratus cambukan.[18]

C.  An-Nahyu (Larangan)
1.        Konsep an-Nahyu
Dalam kitab Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in, an-Nahyu secara bahasa adalah lawan dari al-Amr, yaitu menahan diri atau meninggalkan dari sesuatu yang telah ditentukan.[19] Dalam kitab Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u al-Fiqih Jahalah, an-Nahyu secara bahasa adalah mencegah atau melarang (mana’a)[20]
Sedangkan menurut istilah yaitu:
لفظ يدل على الكف (طلب الكف) عن فعل على جهة الإستعلاء
“Lafadz yang menyuruh kita untuk hentikan pekerjaan yang diperintah oleh orang yang lebih tinggi dari kita”[21]
Secara ringkas, al-nahyu adalah tuntutan untuk tidak melakukan suatu perbuatan, yang muncul dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah (al-Isti’la). Namun jika an-Nahyu (larangan) dari pihak yang lebih rendah pada pihak yang lebih tinggi disebut sebagai ar-Raja (harapan) dan doa.[22]

2.        Bentuk-Bentuk an-Nahyu
Ungkapan al-nahyu dalam nash syara’ muncul secara bervariasi sebagaimana berikut:
a.         Format Fi’il Mudhari’
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati perzinaan, sesungguhnya ia itu perubatan keji dan seburuk-buruknya jalan” (QS. Al-Isra’: 32)
Jika fiil mudhari tanpa la nahiyah, maka disebut insya dan jika tanpa la nahiyyah, maka disebut khabar.[23]
b.        Format Kata Kerja yang Bermakna Meninggalkan atau Tidak Melakukan Perbuatan
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
“Maka, jauhilah kekotoran itu, yakni berhala-berhala, dan jauhilah pula perkataan dusta” (QS. Al-Hajj: 30)
c.         Format Penggunaan Kata نهى dan Turunannya (Bentuk Tashrifnya)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan kebaikan, member kepada kerabat, melarang perbuatan keji, mungkar dan aniaya; Dia menasehati kamu supaya kamu mengambil pelajaran” (QS. Al-Nahl: 90)
d.        Format Kalimat Afirmatif
Kalimat ini digunakan untuk bermaksud menetapkan larangan, baik dengan menggunakan kata حرم berikut turunannya (bentuk tashrifnya) dan frasa لايحل
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu kamu, anak perempuan kamu, saudara perempuan kamu, saudara perempuan bapakmu, dan saudara perempuan ibumu” (QS. Al-Nisa: 23)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai perempuan dengan jalan paksa” (QS. Al-Nisa: 19)
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka” QS. Al-Baqarah: 229)
e.         Format an-Nahyu bima’na Amr
{وَذَرُوا ظَاهِرَ الإِثْمِ وَبَاطِنَهُ} [الأنعام:120] فـ (ذروا) معناه: اتركوا
“Dan tinggalkanlah dosa zahir maupun batin” (Al-An’aam :120). Dzaru artinya disini adalah tinggalkanlah.
f.         Format Isim Fi’il bima’na Nahyu
كقول المعلم للطالب: (صه) بمعنى: اسكت، و (مه) بمعنى: لا تفعل.
Seperti perkataan guru pada muridnya: (صه)  dengan arti diamlah (jangan bicara) dan (مه)  dengan arti jangan mengerjakan[24]

3.        Uslub- Uslub an-Nahyu
Dalam kitab Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u al-Fiqih Jahalah karya ‘Iyadh bin Naami bin ‘Iwad as-Salma, dijelaskan bahwa terdapat beberapa uslub untuk mengetahui haramnya suatu pekerjaan, yaitu sebagai berikut:
1 - لعن الله أو رسوله للفاعل، مثل قوله صلى الله عليه وسلم: «لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد» فهذا دليل على النهي عن اتخاذ القبور مساجد.

1.      Allah dan Rasul-Nya mela’nat bagi ­al-faail, seperti sabda Rasulullah SAW: “Allah melaknat orang-orang yahudi dan nasrani, (karena) mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid". Hadits ini dijadikan dalil (larangan) tentang menjadika kuburan sebagai masjid

2 - الخبر، مثل قوله تعالى: {إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ} [الممتحنة9]
2.      Sebagai Khabar (berita), Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”
3 - توعد الفاعل بالعقاب كقوله تعالى: {وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا} [الفرقان 68]
3.      Memberi peringatan dengan hukuman, seperti Firman-Nya: “Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
4 - إيجاب الحد على الفاعل، مثل قوله تعالى: {الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ} [النور2]
4.      Memberi batasan; seperti Firman-Nya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”
5 - وصف العمل بأنه من صفات المنافقين أو من صفات الكفار نحو قوله تعالى ـ عن المنافقين ـ: {وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى} [النساء142].[25]
5.      Menggolongkan perbuatan ke dalam perbuatan kaum munafiq atau golongan kaum kafir. Seperti Firman-Nya: “Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka lakukan dengan malas.”

4.        Makna-Makna an-Nahyu
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian atau makna[26], antara lain:
a)         Untuk menunjukkan hukum haram, misalnya QS. Al-Baraqah: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

b)        Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya QS. Al-Maidah: 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
c)         Penginaan, contohnya QS at-Tahrim: 7
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang kafir! Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan”
d)        Untuk menyatakan permohonan, misalnya QS. Al-Baqarah ayat 286
....رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ...
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.”

Dalam kitab Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami terdapat 9 makna[27]. Sedangkan dalam kitab al-Bahru al-Muhith fi Ushul Fiqh dijelaskan bahwa makna an-Nahyu terbagi ke dalam 14 makna[28], yaitu sebagai berikut:
1)    لِلتَّحْرِيمِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا} [الإسراء: 32]
Untuk melarang; “dan janganlah kalian mendekati zina”
2)         الْكَرَاهَةُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ} [الأنعام: 121]
Untuk kebencian; “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”
3)         الْأَدَبُ، كَقَوْلِهِ {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} [البقرة: 237]
Untuk mendidik; “Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.”
4)         التَّحْقِيرُ لِشَأْنِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ} [طه: 131]
Untuk menghinakan urusan yang dilarang; “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,”
5)         التَّحْذِيرُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} [آل عمران: 102]
Untuk peringatan; “dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”
6)         َيَانُ الْعَاقِبَةِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا} [آل عمران: 169]
Untuk akibat (mengajarkan): “jangan engkau menyangka orang yang meninggal di jalan Allah itu mati”
7)         الْيَأْسُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَعْتَذِرُوا} [التوبة: 66]
Untuk kesia-siaan; “Tidak usah kalian minta maaf….”

8)         ِلْإِرْشَادِ إلَى الْأَحْوَطِ بِالتَّرْكِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ} [المائدة: 101]
Untuk memberi petunjuk dengan bentuk larangan; “janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu”

9)         اتِّبَاعُ الْأَمْرِ مِنْ الْخَوْفِ كَقَوْلِهِ: {وَلا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الآمِنِينَ} [القصص: 31]
Mengikuti perintah dari ketakutan; “janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.”
10)  لدُّعَاءُ، كَقَوْلِهِ: «لَا تَكِلْنَا إلَى أَنْفُسِنَا»
Untuk berdo’a: “janganlah Engkau sandarkan kami kepada diri kami sendiri”
11)  الِالْتِمَاسُ، كَقَوْلِك لِنَظِيرِك: لَا تَفْعَلْ هَذَا.
Untuk permintaan: seperti perkataanmu pada rekanmu; “dan janganlah kamu mengerjakan hal ini”
12)  التَّهْدِيدُ، كَقَوْلِك لِمَنْ لَا يَمْتَثِلُ أَمْرَك: لَا تَمْتَثِلْ أَمْرِي.
Untuk ancaman; seperti perkataanmu pada orang yang tidak mematuhi perintahmu; “Janganlah kamu mengikuti perintahku”
13)  الْإِبَاحَةُ وَذَلِكَ فِي النَّهْيِ بَعْدَ الْإِيجَابِ فَإِنَّهُ إبَاحَةٌ لِلتَّرْكِ
Untuk membolehkan; yaitu an-nahyu setelah kewajiban merupakan kebolehan untuk ditinggalkan.
14)  الْخَبَرُ، بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَنْفُذُونَ إِلا بِسُلْطَانٍ} [الرحمن: 33]
Untuk berita, seperti Firman-Nya; “kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.”

5.        Kaidah- Kaidah an-Nahyu
Sebenarnya kaidah-kaidah an-Nahyu ada banyak, namun dalam buku Ushul Fiqh karya Satria Effendi disebutkan 3 Kaidah[29], yaitu sebagai berikut:
1.          القاعدة الأولى:الأصل في النهي للتحريم أو النهي يدل على التحريم
“Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain”
Dalam kitab Min Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli Hadits disebutkan dengan redaksi:
الأصل في النهي التحريم إلا لقرينة
Dan dalil mengenai kaidah ini dari sabda Rasulullah SAW:
"ما نهيتكم عنه فاجتنبوه". أخرجه مسلم[30]
“apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah”
Contoh QS al-An’am: 151                                                      
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“…. dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (sebab) yang benar…”
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram adalah QS Jumu’ah: 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah da tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh menunjukkan hukum makruh karena ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditunjukkan pada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal yang di luar zatnya, yaitu  adanya kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari bersegera pergi shalat Jum’at. Oleh karena itu, orang yang tidak wajib shalat Jum’at seperti wanita tidak dilarang melakukan jual beli.
2.          القاعدة الثانية: الأصل في النهي يطلق الفساد مطلقا أو النهي يدل على الفساد
“Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan”
Seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, kaidah ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh bilamana larangan itu tertuju pada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi perbuatan itu. Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina, larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti larangan shalat dalam keadaan berhadas, baik kecil maupun besar. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkanbatalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan.
Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak tertuju pada esensi suatu perbuatan, tetapi pada hal-hal yang berada di luarnya. Misalnya larangan jual beli waktu azan Jum’at dan larangan menyutubuhi istri yang sedang haid.
Menurut jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah, larangan seperti ini tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu jika tetap dilakukan. Menurut sebagian kalangan Mazhab Hanbali dan Mazhab Zahiri, larangan dalam bentuk ini menunjukkan hukum batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan seperti tersebut di atas. Alasannnya, melakukan suatu yang dilarang baik terhadap esensinya maupun terhadap sesuatu yang bukan esensinya adalah sama-sama melanggar ketentuan syari’at, dan oleh karena itu hukumnya batal. Berdasarkan pendapat ini, melakukan shalat dengan pakaian hasil curian adalah batal.
3.          القاعدة الثالثة: النهي عن الشيئ أمر بضده
“Pada dasarnya suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya”
Contoh QS. Luqman: 18
...وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا....
“… dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh…”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.




[1] Disusun oleh Hilman Rasyid sebagai tugas makalah Qur’anic Exegesis and Hadits SPs UIN Jakarta
[2] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm. 177
[3] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm. 178
[4] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in. (Durus Shautiyyah, TT) hlm 2
[5] Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm.66
[6] Muhammad Husen bin Hasan al-Jizani. Mu’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahli Sunnah Wal Jama’ah. (Dar al-Jauzi: 1427H) hlm 396
[7] Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2013) hlm. 221-222
[8] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm. 179-181
[9] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in. (Durus Shautiyyah, TT) hlm 3
[10] Al-Jami’ah Al-Islami Madinah. Mudzakkirah Ushul-Fiqh. (Madinah: Mauqi’ al-Jami’ah ‘ala Internet, TT) hlm 17
[11] Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani. Min Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahli Hadits. (Dar al-Kharaj, 2002) hlm 108-117
[12] Muhammad Musthafa al-Zuhaili. Al-Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami. (Suriah; Dar al-Khair, 2006) hlm 23
[13] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm. 184
[14] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm 185
[15] Muhammad Musthafa al-Zuhaili. Al-Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami. (Suriah; Dar al-Khair, 2006) hlm 25
[16] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm 186-187
[17] Muhammad Musthafa al-Zuhaili. Al-Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami. (Suriah; Dar al-Khair, 2006) hlm 25
[18] Muhammad Musthafa al-Zuhaili. Al-Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami. (Suriah; Dar al-Khair, 2006) hlm 27
[19]Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in Juz 3 (Durus Shautiyyah, TT) hlm 2
[20] ‘Iyadh bin Nami bin ‘Iwadh al-Salma. Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u al-Fiqih Jahalah. (Riyadh; Dar at-Tadmariyyah, 2005) hlm 270
[21] Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm.71
[22] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in Juz 3 (Durus Shautiyyah, TT) hlm 2
[23] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in Juz 3 (Durus Shautiyyah, TT) hlm 3
[24] Muhammad Hasan Abdul Ghaffar. Taisir Ushul Fiqh Lil-Mubtadi-in Juz 3 (Durus Shautiyyah, TT) hlm 3

[25] ‘Iyadh bin Nami bin ‘Iwadh al-Salma. Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u al-Fiqih Jahalah. (Riyadh; Dar at-Tadmariyyah, 2005) hlm 272
[26] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm.190-192
[27] Muhammad Musthafa al-Zuhaili. Al-Wajiiz fi Ushul Fiqh al-Islami Juz 2. (Suriah; Dar al-Khair, 2006) hlm 31-32
[28] Abu Abdullah Badrudin Muhammad bin Abdullah. al-Bahru al-Muhith fi Ushul Fiqh. (Dar al-Kutubi, 1994) hlm 367-368 Juz 3
[29] Satria Effendi. Ushul Fiqh. (Jakarta; Kencana, 2005) hlm.192-194
[30] Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani. Min Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahli Hadits. (Dar al-Kharaj, 2002) hlm 120

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Amr & Nahyu Sebagai Metodologi Istinbath"

Post a Comment