Oleh: Hilman Rasyid*
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ini sudah hampir di depan mata. Yaitu pada tanggal 15 April 2013 mendatang untuk SMA/MA sederajat dan tanggal 22 April untuk SMP/MTs sederajat. Bahkan untuk tahun ini, pihak pemerintah akan menerapkan 20 paket soal UN yang bertujuan untuk mencegah kecurangan dan kebocoran soal.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ini sudah hampir di depan mata. Yaitu pada tanggal 15 April 2013 mendatang untuk SMA/MA sederajat dan tanggal 22 April untuk SMP/MTs sederajat. Bahkan untuk tahun ini, pihak pemerintah akan menerapkan 20 paket soal UN yang bertujuan untuk mencegah kecurangan dan kebocoran soal.
Hingga
kini Ujian Nasional (UN) masih menjadi momok yang menyeramkan dan selalu menjadi
buah bibir banyak kalangan; seperti orangtua siswa, intelektual muda,
masyarakat bahkan termasuk para ahli pendidikan. Tidak sedikit juga dari mereka
yang membabi buta dan jatuh pada sikap populisme murahan karena mereka meminta
UN segera dihapuskan tanpa memberikan solusi alternatif yang baik. Ujian
Nasional sebagai standar penilaan kelulusan terus dipertanyakan makna dan
validitasnya. Bahkan dalam kurikulum 2013, UN pun masih menjadi tolok ukur dan
titik pijakan untuk keberhasilan sebuah proses pendidikan.
Ketika
UN masih menjadi tolok ukur kelulusan dalam proses pendidikan, maka
permasalahan yang masih belum terselesaikan hingga tahun 2013 ini adalah bahwa
berbagai macam disparitas atau perbedaan mutu pendidikan masih terjadi di
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sehingga dalam hal ini perlu adanya
usaha pemerataan mutu pendidikan oleh pihak pemerintah secara optimal dan
maksimal terlebih dahulu. Bukan malah sibuk dengan peningkatan kualitas
pendidikan di daerah perkotaan yang sudah terlihat mewah sehingga seringkali
melupakan sekolah di berbagai penjuru daerah yang sangat jauh dari titik
kualitas yang ideal.
Telah
banyak korban-korban UN yang kecewa serta frustasi oleh sistem penilaian ini.
Sebab semua jerih payah serta pengorbanan mereka selama hampir tiga tahun
dinilai sia-sia akibat tidak adanya penilaian secara integral dan komprehensif.
Hasil Pra-Ujian Nasional tingkat SLTA tahun 2013 ini saja sangat mengecewakan.
Hanya 12 siswa yang lulus dari 1.209 siswa dalam Pra-UN tersebut (antaranews.com,
01/04/2013). Mereka yang tidak lulus dalam UN tiada lain adalah para korban
ketidak-adilan politik pendidikan pemerintah pusat yang hanya memperhatikan
sekolah di seputar sumbu kekuasaan dan meninggalkan mereka yang jauh dari modal
dan kekuasaan.
UN
hanya mengutamakan penilaian pendidikan yang semata-mata pada kemampuan
akademis saja. Akibatnya akan meredusir potensi dan talenta para siswa. Padahal
masih banyak unsur lain yang sama pentingnya dalam membantu keutuhan sebuah
proses pendidikan, misalnya kecerdasan emosional, kemampuan teknis dan praktis
untuk memecahkan persoalan, kecerdasan sosial dan spasial serta multi-kecerdasan
lainnya. Menerapkan 20 paket soal UN dan memperketat antisipasi “serangan
fajar” UN saja terlihat sekali ketidak-percayaan pihak pemerintah pada para siswa
dan para guru serta sama sekali tidak terlihat untuk melatih sebuah tindakan
kejujuran.
Hal
yang paling eksistensial yang perlu dipahami adalah bahwa suatu cara penilaian
ilmu bukan dilihat karena kapasitas jumlah pengetahuan yang diterima dan
dihafal oleh para siswa, melainkan sejauh mana pengetahuan yang dimilikinya itu
mampu memberikan manfaat untuk mengubah tingkah laku mereka ke arah yang lebih
bermakna serta mampu mengurangi kekurangannya sebagai seorang manusia. Yang
diutamakan dalam UN adalah hasil akhir, bukan sebuah proses. UN telah meredusir
kekayaan pribadi menjadi barang produksi yang bisa distandarisasi. Sehingga
tidak aneh jika pendidikan Indonesia hanya melahirkan kaum intelektual tapi
tidak bermoral.
Sehingga
UN ini sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Michael Rutz dalam
buku Kebijakan Pendidikan bahwa pendidikan itu berawal dari fakta bahwa manusia
itu mempunyai defisit atau kekurangan. Karenanya pendidikan merupakan jawaban
untuk membuatnya lengkap (Tilaar dan Nugroho, 39:2009). Ketika manusia lahir
dalam keadaan tidak berdaya, maka tanggung jawab pendidikan-lah yang harus
membimbingnya hingga berkembang dan menemukan bakat dan kemampuannya.
Ketika
setiap kebijakan intervensif seperti UN ini dikeluarkan, maka mesti memperhatikan
dan mempertimbangkan berbagai dampak atas intervensi tersebut dalam konteks
yang lebih luas. Sungguh hal yang sangat konyol ketika membuat suatu program
pendidikan namun tidak melihat dampak-dampaknya yang akan terjadi setelahnya.
Sama halnya dengan sikap ngotot untuk mempertahankan program UN yang
kontroversial ini tanpa memberikan pertimbangan yang valid serta tanpa memperbaiki
mutu pendidikan secara merata.
Namun
sebaliknya juga, pelaksanaan UN ini dapat memberikan manfaat untuk pemetaan kualitas
pendidikan antardaerah di Indonesia. Sehingga dari hasil evaluasinya, pemerintah
dapat bersikap tanggap menambal semua kekurangan umum yang ada pada lembaga
tertentu. Ketika dalam sekolah tersebut menghasilkan para siswa yang
mendapatkan nilai di bawah standar. Maka langkah kuratif untuk pihak pemerintah
adalah memperbaiki mutu pendidikan sekolah tersebut. Bukan malah melakukan
sikap konyol yaitu tidak meluluskan para siswa di sekolah tersebut yang kemudian
acuh dan tidak memperbaikinya. Hal ini bisa lebih memperburuk mutu pendidikan
di Indonesia.
*Mahasiswa
FPBS Universitas Pendidikan Indonesia
Ketua
Umum HIMA Persis PK UPI
**)
Diterbitkan dalam okezone.com
0 Response to "Ujian Nasional; (Bukan) Hantu yang Menyeramkan"
Post a Comment