(Memotong Lidah dan Cita-cita Reformasi)
Oleh: Hilman Rasyid*
Lahirnya
Rancangan Undang-undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) tiada lain
adalah akibat ketidak-puasan dari UU nomor 8 tahun 1985 yang selama ini
mengatur organisasi masyarakat di Indonesia. UU tersebut dianggap sudah
tidak representatif lagi dengan dinamika ormas yang ada pada sekarang
ini. Pada Tahun 2012 -detiknews.com-, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mencatat organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia
berjumlah 65.577. Saking banyaknya, Kemendagri mengaku kesulitan dalam
mengatur ormas-ormas tersebut. Namun terlepas dari itu, kelahiran RUU
Ormas ini banyak menuai polemik yang cukup signifikan. RUU Ormas ini
dianggap sebagai setback pemerintahan sekarang pada zaman rezim otoriter
(orde baru). Menurut historis, berbagai ormas yang ada di Indonesia ada
di bawah kendali refresif sang penguasa orde baru.
Pasca-Reformasi
1998, muncul suatu optimisme baru di kalangan umat Islam akan tampilnya
kembali “Islam-politik” dalam percaturan politik di Indonesia setelah
sekian lama semenjak Demokrasi Terpimpin Sukarno dan Orde Baru Suharto
dibungkam. Berbagai kebijakan memarjinalkan posisi umat dalam ranah
politik. Kalaupun diakomodasi melalui partai resmi (Orde Baru: PPP),
posisinya tidak lebih hanya sebagai pelengkap dan lipstik kekuasaan.
Kontrol yang kuat terhadap partai Islam ini sesungguhnya tetap
menyisakan marjinalisasi massal terhadap potensi dan kekuatan politik
umat. Kran kebebasan yang dibuka begitu leluasa pasca-Reformasi telah
membukakan jalan lempang nan lebar bagi kembalinya umat Islam
mengaktualisasikan potensi politiknya. Berbagai partai pun muncul yang
dengan terang-terangan menyebut diri sebagai “partai Islam” (Tiar Anwar
Bachtiar, Masa Depan Politik Santri Bagian 1). Lalu kenapa dan bagaimana
dengan RUU Ormas saat ini?
Hadirnya RUU ini merupakan
tindakan yang tidak saja kontraproduktif tetapi juga kontradiktif dengan
cita-cita reformasi. RUU ini seolah didesain ingin memotong lidah kaum
reformis dan cita-citanya yang ingin bebas keluar dari ‘genggaman’
penguasa. RUU ini seperti NKK/BKK-nya mahasiswa pada zaman orde baru.
Tujuan dilahirkannya RUU ini adalah untuk mengatasi dan mengawasi
berbagai ormas yang ada di Indonesia sehingga bertindak sesuai dengan
aturan yang ada. Namun di antara pasal-pasal dan aturan yang ada pada
RUU itu membuat ketidak-nyamanan berbagai ormas. Maraknya tindakan
anarkisme dan terorisme juga menjadi alasan kuat lahirnya RUU ini.
Polemik RUU Ormas
RUU
Ormas ini seolah menjadi wadah baru; tempat berkumpul dan beraktifitas
melalui persyaratan ketat dan sanksi yang keras. Sehingga wajar RUU ini
dianggap sebagai pintu masuk kembalinya rezim refresif orde baru melalui
menghidupkan kembali ketentuan Pancasila sebagai asas (Pasal 2 RUU
Ormas).“Larangan Ormas berpolitik (Pasal 7 RUU Ormas) dan kontrol ketat
Ormas oleh pemerintah (Pasal 58, Pasal 61 dan Pasal 62 RUU Ormas)”. Lalu
kalau begitu apa peran dan fungsinya organisasi masyarakat (Ormas) ?
Kita tahu bahwa di antara tujuan yang sejalan dari mayoritas Ormas yang
ada adalah untuk mengawasi dan mengkritisi pada berbagai tindakan dan
roda kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Maka ketika berbagai
ormas itu ada dibawah kendali pemerintah, maka dengan mudah mereka akan
bisa dibubarkan dan diberi sanksi sesuai undang-undang yang berlaku.
Pertama,
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat HIMA Persis, Moh. Reza Ansori,
Tindakan anarkisme tidak bisa dijadikan alasan lahirnya RUU Ormas ini.
Karena sebab tindakan anarkisme itu terjadi bukan karena
tidak adanya perangkat hukum, apalagi karena menjamurnya ormas,
melainkan disebabkan karena lemahnya dan buruknya kepemimpinan penguasa.
Hal itu terjadi karena sikap dari pemerintah yang tidak tegas dalam
membuat keputusan dan tidak tegas dalam menegakkan hukum. Bahkan
pemimpin sering terlibat dalam praktik curang dan korup. Sebaliknya,
kekhawatiran penguasa terhadap menjamurnya ormas kian menunjukkan
ketakutan pemerintah pada kelemahannya, yang seharusnya dikoreksi dengan
memperbaiki kinerja dan memenuhi komitmennya.
Kedua,
Hal yang paling krusial sampai saat ini adalah terkait polemik asas
tunggal dalam pasal 2 RUU Ormas yang memberlakukan semua ormas wajib
mencantumkan pancasila sebagai asas pertamanya. Banyak penolakan yang
dilakukan oleh berbagai Ormas terkait Asas Tunggal dalam pasal ini.
Namun anehnya, setelah penulis membaca draft RUU Ormas tersebut (versi 4
Maret 2013) tidak tercantum Pancasila sebagai satu-satunya asas (hanya
sebagai asas utama). Melainkan ada asas-asas lain selanjutnya seperti
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945,
serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berbeda halnya dengan UU nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas) yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
Ormas. Sehingga dalam RUU Ormas ini Islam dapat dijadikan sebagai asas
karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Semua
ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Pada 1987,
pemaksaan azas ini membuat Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam
membubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis
(GPM), dan juga berbagai organisasi lain dengan alasan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas). Namun dengan aturan di atas pula maka ormas
sesat seperti Ahmadiyah tetap boleh berdiri selama mereka mengakui
Pancasila sebagai asas kelompoknya. Padahal mereka adalah aliran sesat
menurut al-Quran dan as-Sunnah. Bisa dikatakan RUU ini melindungi dan
menjaga eksistensi kelompok-kelompok sesat seperti Ahmadiyah dan yang
lainnya. Lalu kalau begitu, bagaimana kalau Islam dijadikan sebagai Asas
Tunggal?
Ketiga, Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) adalah salah satu ormas yang sangat tegas pada penolakan
RUU ini khususnya pada pasal 7 RUU Ormas ini. Karena pasalnya ketika
RUU ini dilegitimasi menjadi undang-undang yang sah, maka dengan
otomatis HTI -yang menyatakan sebagai parpol tapi terdaftar sebagai
ormas- ini akan menjadi ormas illegal bahkan ada kemungkinan untuk
dibubarkan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 dan pasal 51 RUU Ormas (versi 4
Maret 2013) tentang larangan Ormas berkegiatan dalam ranah politik.
Sehingga hal ini tidak sesuai dengan cita-cita reformasi dan hadirnya
RUU ini seolah ingin memotong lidah-lidah kaum reformis dan mungkin
telah mencederai perjuangan para tokoh sejarawan bangsa.
Tolak RUU Ormas dan Cabut UU Ormas!
Dalam
ranah fraksi partai politik, pada pembahasan tanggal 8 Maret 2013,
hampir mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah sudah mencapai kata
sepakat (Republika, 17/03/2013). Sehingga pembahasan di tingkat panita
kerja (Panja) sudah selesai dan masuk ke tahap tim perumus atau sudah
mencapai klimaksnya. Pembahasan pokok-pokok krusial tentang RUU Ormas
sudah berhasil disepakati pemerintah dan DPR, dengan mengakomodasi
situasi yang berkembang. Misalnya, soal sanksi kepada ormas yang
melakukan pelanggaran, secara keseluruhan sudah tidak dipermasalahkan
lagi. Secara umum, delapan dari sembilan fraksi di DPR sudah setuju soal
sanksi.
Sebaliknya, menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat
HIMA Persis, Moh. Reza Ansori, Pemerintah tidak perlu lagi membuat
produk hukum yang akurat untuk mengatur berbagai organisasi di
Indoensia, sebab sudah ada UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan
Staatsblad tentang perkumpulan. Bila yang menjadi masalah adalah tidak
adanya spesifikasi sanksi bagi ormas yang melanggar aturan hukum, maka
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) uang dengan tegas mengatur
sanksi dari segala bentuk pelanggaran oleh masyarakat bisa dijadikan
pedoman.
Begitu juga terkait anggapan bahwa Ormas
selama ini tidak transparan dalam hal keuangan dan yang lainnya,
seharusnya ada rujukan yang pas untuk mengatur hal itu yakni UU nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dan jika memang benar
terbukti ada ormas yang menaungi para teroris di Indonesia, maka ada UU
nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme yang menjadi rujukan. Kalau
alasan parlemen sebatas karena ada kelompok massa yang anarkis,
persoalannya bukan dengan membuat RUU Ormas, tapi penegak hukum berjalan
efektif atau tidak dalam menindak mereka. Sehingga RUU Ormas ini lebih
kental nuansa politiknya dibandingkan argumentasi hukumnya. RUU Ormas
ini juga berpotensi menghadirkan birokrasi yang makin panjang, berbelit,
dan berpeluang refresif.
Dengan demikian, pembahasan
dan pengesahan RUU Ormas harus segera dihentikan karena dinilai telah
bertabrakan dengan UU Yayasan yang sudah mengatur aktivitas keseharian
lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun ormas. Tidak ada pemberdayaan
Ormas, yang ada hanya pengawasan berlebih pemerintah terhadap ruang
gerak Ormas. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga
harus dicabut dan kembalikan kepada UU Yayasan dan RUU Perkumpulan.
Berbagai Ormas besar seperti Persatuan Islam (Persis), Muhamadiyyah, dan
HTI tetap menolak RUU Ormas ini. TOLAK RUU ORMAS DAN CABUT UU ORMAS!
Wallahu a’lam
*Ketua Umum HIMA Persis PK UPI
**)
Disampaikan pada Dialog Interaktif yang diadakan oleh KALAM UPI pada
hari Kamis, 28 Maret 2013 bersama Organisasi Mahasiswa lain.
0 Response to "RUU Ormas; Neo-Konstitusi Refresif Jilid II"
Post a Comment