Pilih UN Dihapuskan atau Sekolah Dibubarkan?

Oleh : Hilman Rasyid*
 Pendidikan nasional kita ternyata masih berada pada titik nadir yang cukup memprihatinkan. Mulai dari polemik eksistensi Ujian Nasional (UN), kapitalisme dalam UU Pendidikan Tinggi, ketidak-matangan Kurikulum 2013, eksploitasi dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan permasalahan krusial lainnya yang membuat bobroknya pendidikan di negeri kita. Namun salah satu hal yang paling menarik untuk kita kritisi hari ini adalah terkait polemik keberadaan UN yang kemudian dihubungkan dengan keberadaan sekolah. 

Keduanya akan memiliki hubungan yang kontras ketika UN masih dijadikan standar kelulusan sebuah proses pendidikan. Ketika UN masih dijadikan tolok ukur sebuah proses pendidikan (formal), maka eksistensi atau keberadaan sekolah akan berada di bawah bayangan kesia-siaan. Keberadaan sekolah sebagai sarana pendidikan seolah kurang bermanfaat karena keberadaan UN yang menjadikan para peserta didik lebih memilih untuk mengikuti kegiatan les atau privat yang lebih bermanfaat ketimbang masuk sekolah yang dinilainya hanya menimbulkan petaka berupa kesia-siaan belaka tanpa makna.

Bahkan di zaman post-modernitas ini, untuk apa sebenarnya kita sekolah? Lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik. Keduanya sukses dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuan hasil penemuannya. Siapa yang menyangka bila pabrik raksasa pencetak manusia bernama sekolah yang selalu dikultuskan Negara sebagai institusi pendidikan formal yang meniscayakan kualitas siswa, justru terjadi paradoksal atau ketidak-sesuaian antara apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi pada realitas di masyarakat. Oleh sebab itu, apa tidak sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja?

Bahkan UN yang secara tidak langsung telah mengancam kemanfaatan sekolah, seolah telah memperkuat argumentasi di atas untuk membubarkan sekolah. Wajah sekolah hari ini seperti institusi pendidikan formal yang hanya menjebak para peserta didik untuk masuk di dunia khayalan karena mereka hanya disibukkan dengan belajar di kelas sembari membayangkan hal-hal yang mereka pelajari tanpa adaya aktualisasi diri di masyarakat ke depannya. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan wajah sekolah di Indonesia semakin buram tak bermanfaat?

Jika kita melihat sedikit dari pandangan Mazhab Pendidikan Kritis, tentu tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal, dan ketidak-konsistenan antara apa yang dipelajari dengan apa yang terjadi di lapangan. Namun fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif, dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada pada prakteknya justru bertindak otoriter dan bahkan anti-demokratis.

Sekolah juga punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tetapi pada prakteknya sekolah hanya untuk anak bangsa yang punya modal besar dan menyingkirkan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga jangan aneh ketika kita melihat anak-anak yang lebih memilih untuk bekerja yang lebih konkret dan langsung mendapatkan hasil daripada harus pergi ke sekolah yang dirasa tidak ada manfaatnya bahkan hanya akan menghabiskan waktu saja.

Mereka tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran di sekolah karena mahal dan membosankan. Sehingga sungguh ironis ketika para mahasiswa pertanian harus menunggu sampai selesai kuliah untuk belajar bertani, tetapi anak-anak yang tidak ingin sekolah telah belajar hal itu ketika mereka berumur 10 tahun. Sungguh kekeliruan paradigma yang sangat luar biasa dari sistem pendidikan di negeri ini.

Wajah sekolah yang buram di atas tentu harus segera dibenahi, yang tentunya agar wajah kualitas sekolah semakin dipercaya dan lebih bermanfaat. Sungguh hal yang konyol jika kita hanya bisa memberikan keresahan dan sindiran tanpa memberikan upaya dan solusi alternatif untuk mengembalikan wajah sekolah ke arah yang lebih baik dan positif. Kita harus segera merubah paradigma publik misalnya dengan cara menjadi pendidik atau guru yang tidak hanya mementingkan aspek kognitif serta menjadi guru yang melek terhadap teori dan kondisi yang terjadi di luar sekolah.

            Dengan demikian, jika UN tidak ingin dihapuskan dan sekolah tidak ingin dibubarkan, maka UN -sebagai langkah evaluasi- jangan dijadikan sebagai tolok ukur kelulusan sebuah proses pendidikan serta kualitas sekolah harus segera dibenahi. Sehingga eksistensi sekolah dan UN masih bisa dipertahankan karena keduanya memiliki hubungan tegak lurus yang saling melengkapi dan membutuhkan.   

*Pegiat Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pilih UN Dihapuskan atau Sekolah Dibubarkan?"

Post a Comment