Oleh
: Hilman Rasyid*
Hingga
akhir bulan April ini pro dan kontra kurikulum 2013 masih terus mewarnai dunia
pendidikan. Kurikulum ini masih terus dipertanyakan makna dan validitasnya
bagaikan seorang calon sarjana yang sedang disidang mengenai hasil skripsinya
sebelum ia terjun ke lapangan berstatus sarjana. Namun berbeda dengan pihak
pemerintah yang nampaknya maju terus pantang mundur. Seolah-olah terlihat
gagasannya itu keren padahal sebenarnya masih mengambang.
Secara
historis, kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian
menteri pendidikan. Sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum
memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Padahal kita tahu bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang mempunyai kurikulum pendidikan yang ideal dan
stabil (tidak berubah-ubah) sehingga mampu memberikan suplemen kepada para muridnya
untuk mampu meningkatkan mutu pendidikannya di masa yang akan datang.
Jika
Kurikulum 2004 disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
2006 disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Maka Kurikulum 2013
ini bisa kita sebut sebagai Kurikulum "Nasi Gigih” (KNG). Kurikulum 2013
ini bagaikan ingin memasak nasi tetapi karena terburu-buru sehingga yang
tersaji hanya nasi gigih. Hal ini bagaikan sikap pemerintah yang sedang “kelaparan”
alias terburu-buru untuk menerapkan kurikulum 2013 tersebut padahal masih
setengah matang.
Semua
orang boleh berwacana bahkan menggugat. Resah dan gelisah terhadap kebijakan
publik khususnya pendidikan yang tidak sesuai dengan keinginan. Kecewa terhadap
kurikulum 2013 yang sedang menjalani sosialisasi dan implementasi. Penerapan
kurikulum baru ini bisa dibilang sudah mencapai pada titik akhir implementasi.
Bagaikan bubur ayam yang sudah siap disajikan untuk dimakan. Lalu mengapa
kurikulum 2013 ini harus terburu-buru?
Apa
pun alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah sekiranya tidaklah rasional ketika
kita melihat berbagai pihak termasuk sekolah yang memang belum siap untuk
menerapkan kurikulum baru tersebut. Hal ini tiada lain disebabkan karena
implementasi kurikulum 2013 tersebut dinilai terburu-buru, dipaksakan, dan
asal-asalan. Sehingga tidak memperlihatkan adanya visi pendidikan yang jelas.
Pematangan
Kurikulum 2013
Minimalnya
ada 3 (tiga) tahapan yang perlu dilalui oleh kurikulum 2013 sebelum kurikulum
tersebut diterapkan di berbagai sekolah. Pertama, pemerintah harus terus
menggalakkan sosialisasi kurikulum 2013 ini secara matang dan merata. Sehingga
tidak ada lagi guru yang masih meraba-raba isi kurikulum baru tersebut karena
minimnya informasi yang mereka peroleh. Tahap pertama ini pasti akan
menghabiskan waktu yang banyak karena kondisi fisik Indonesia yang mempunyai
sekitar 17.000 pulau.
Kedua,
mengenai
peningkatan dan pemerataan penyiapan guru. Guru sebagai aktor utama atau ujung
tombak penerapan kurikulum mau tidak mau harus siap untuk membaca dan memahami
kurikulum 2013 tersebut. Karena sebagus dan seideal apa pun sebuah kurikulum
tentu tidak akan pernah berhasil jika tidak dipahami dulu dengan benar oleh
para guru di seluruh sekolah.
Sehingga
pelatihan atau penyiapan guru harus selalu digalakkan demi tercapainya
peningkatan professionalisme guru terutama menyangkut strategi dan metodologi
penerapan kurikulum baru tersebut. Namun sepertinya hari ini guru juga harus
dilatih untuk menguasai teknologi atau internet. Karena hal ini bisa
meningkatkan inovasi guru yang masih sangat lemah yaitu hanya sekitar 2% dari
5,6 juta guru di Indonesia (kampus.okezone.com, 18/03/2013). Perlu diingat
bahwa pelatihan atau penyiapan guru harus dilakukan secara merata sampai ke
para guru di pelosok daerah Indonesia secara optimal.
Ketiga,
mengenai
buku teks sebagai sumber belajar dan bahan ajar. Dalam proses belajar mengajar
di sekolah, buku teks dapat menjadi pegangan guru dan murid yaitu sebagai
referensi utama atau menjadi buku suplemen. Meskipun pihak pemerintah sedang
sibuk mencetak dan menyebarkan buku berlabel “Kurikulum 2013” secara gratis, namun
peran guru yang terpenting adalah melakukan telaah terhadap buku teks tersebut
terlebih dulu sebelum buku tersebut dijadikan referensi utama.
Buku
teks tidak hanya perlu ditelaah dari segi nilainya, tetapi juga ditelaah dari
jangkauan materi pelajarannya. Hal ini tiada lain untuk memperoleh kualitas
buku teks yang bermutu dan menghindari buku teks dari materi dan nilai yang
tidak cocok untuk diajarkan. Sehingga guru mau tidak mau harus membaca,
memahami, dan menelaah buku teks tersebut terlebih dulu secara cermat sebelum
terjadi dampak yang sangat fatal terhadap para muridnya.
Dengan
demikian, sebelum kurikulum 2013 diterapkan di seluruh sekolah, maka kurikulum
tersebut harus berhasil melewati ketiga tahapan di atas terlebih dulu. Pihak
pemerintah harus bersikap tegas untuk segera melakukan penundaan implementasi
kurikulum baru tersebut sebelum semuanya terlambat. Karena untuk mencapai
sebuah kesempurnaan dan keberhasilan termasuk dalam implementasi kurikulum,
dibutuhkan proses waktu yang sangat panjang.
*Pegiat
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Ketua
Umum HIMA Persis PK UPI
0 Response to "Memasak (Lagi) Kurikulum “Nasi Gigih”"
Post a Comment