“Sekolah Bubarkan saja!” Katanya
Oleh : Hilman Al-Rasyid*
Di zaman postmodernitas ini, untuk apa sebenarnya kita sekolah? Karena kita tahu banyak orang yang sukses tanpa sekolah. Lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik mereka orang yang sukses dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuah hasil penemuannya. Siapa yang menyangka bila pabrik raksasa pencetak manusia bernama sekolah yang selalu dikultuskan negara sebagai institusi pendidikan formal yang meniscayakan kualitas siswa yang unggul dan berkompetensi, justru terjadi paradoksal antara apa yang dipelajari dengan apa yang terjadi pada realitasnya, bahkan termasuk salah satu tempat pembunuhan karakter manusia. Sehingga demikian, apa tidak sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja?
Mungkin itulah beberapa pertanyaan dan keresahan manusia tentang sekolah. Seperti keresahan Chu-dhiel dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Dibubarkan Saja!.” Ia berpendapat dengan gagasannya yang kritis bahwa sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang hanya menjebak orang-orang untuk masuk ke dunia penuh khayalan karena mereka hanya disibukkan dengan belajar di kelas sembari membayangkan hal-hal yang mereka pelajari tanpa adanya aktualisasi diri di masyarakat ke depannya. Sekolah hanyalah institusi kapitalis yang menciptakan peraturan-peraturan aneh (seperti adanya seragam, jadwal belajar, dan cara belajar) yang terkadang bagi sebagian rakyat miskin, justru hanya akan menimbulkan petaka berupa kesia-siaan belaka tanpa makna.
Sebelum kita mengkritisi argumentasinya yang kontroversial, kita harus tahu terlebih dahulu apa sebenarnya penyebab ia berpendapat seperti di atas? Ternyata salah satu akar penyebabnya adalah bahwa sekolah selama ini cenderung hanya mengutamakan aspek kognitif tanpa mempertimbangkan aspek afektif dan psikomotorik. Serta selama ini sekolah hanyalah institusi eksklusif yang coba mengotak-ngotakkan golongan tertentu lantaran sekolah memang butuh biaya dan pada akhirnya kaum miskin pun hanya disuruh “gigit jari”. Dengan demikian, sekolah pun terkesan feodal bagi siswa.
Mengkritisi Sekolah
Memang hingga hari ini, sekolah mempunyai wajah buram seperti di atas. Kemudian jika sedikit melihat dari kacamata Mazhab Pendidikan Kritis, tentu tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan. Namun fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan bahkan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi dan multikulturalisme. Sekolah juga punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal besar dan para kapitalis. Sekolah juga punya visi untuk menjungjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, terutama kaum difabel.
Paulo Freire, salah satu tokoh mazhab pendidikan kritis berpendapat bahwa sekolah yang ideal adalah sekolah yang menekankan pada progresivitas atau kemajuan. Dia juga termasuk salah satu tokoh pendidikan barat yang ingin merubah wajah pendidikan ke arah dunia baru yang lebih baik. Lebih menariknya lagi, dia memberikan catatan penting bahwa sekolah dianggap baik dan berkualitas apabila ditopang oleh suasana dan keadaan yang sangat menarik minat anak didik untuk betah jika berada di sekolah (feel at home). Sekolah merupakan rumah kedua yang selalu memberikan keteduhan dan kesejukan sehingga membuat sekolah bukan layaknya penjara yang penuh pembebanan.
Dengan aturan sekolah yang begitu rigid dan detail, mulai jam masuk hingga pulang, kurikulum sekolah yang padat dan sumpek serta pelbagai buku yang harus bahkan wajib dibeli, justru akan menyebabkan mereka terbebani. Suatu kondisi yang ironis, jika lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu selalu melahirkan konstruksi berfikir anak didik yang eksploitatif bahkan mengarah pada dehumanisasi sehingga sekolah hanya mampu memproduksi barang setengah jadi. Ini juga bisa menjadi salah satu peluru bahwa sekolah sudah tidak diperlukan lagi.
Sebenarnya di sinilah letak pentingnya sikap kritis kita, bahkan mungkin kita bisa sedikit mengkritisi teori pendidikan kritis di atas yang terlihat liberalistis. Namun kita bisa mengambil pelajaran positif dari teori tersebut dengan mengedepankan norma-etis yang terdapat dalam Islam. Artinya ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa sekolah harus menjadi rumah kedua, tentu teori ini bisa kita ambil jika ada sebuah konsep yang jelas, karena dikhawatirkan anak didik akan merasa malas karena kenyamanan itu. Namun ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa guru dan murid adalah sama-sama subjek, tentu hal ini tidak bisa kita terima. Karena dikhawatirkan ada sebuah penyimpangan moral dari murid terhadap sang guru. Sehingga, ada saatnya murid menjadi objek dan ada saatnya murid menjadi subjek.
Sekolah Tidak Diperlukan lagi; Pragmatisme Pendidikan
Kita tahu bahwa Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dll) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Pragmatisme mengajarkan kita sebuah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal dan kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan. Pragmatis dapat lahir sebagai tanggapan kekecewaan terhadap kenyataan hidup yang ada. Mereka selalu berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara instan, praktis, karena dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit matrealisme.
Tujuan pendidikan bukanlah untuk mencari selembar kertas bernama Ijazah, bukan juga untuk mencari point diatas kertas dan bukan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja serta kesuksesan sebuah proyek semata. Kalaulah itu tujuannya, maka terlalu banyak waktu dan biaya yang kita habiskan. Apalagi sekarang kita hidup di era modern, sudah banyak media informasi dan pengetahuan berupa internet, majalah, televisi, radio dan berbagai media pembelajaran yang lebih murah meriah bahkan gratis. Maka ini merupakan salah satu peluru bagi si pragmatis untuk mendapatkan pembenaran, ‘bahwa tidak perlunya sekolah’.
Berdasarkan hasil analisis faktual bahwa penyebab utama anak-anak berhenti sekolah karena kurangnya motivasi anak untuk pergi sekolah. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang tidak menarik bagi siswa. Mereka lebih memilih untuk bekerja yang lebih konkret dan langsung mendapatkan hasil daripada pergi ke sekolah yang merasa tidak ada manfaat yang didapatkan dan hanya akan menghabiskan waktu. Mereka tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran di sekolah karena terlalu sulit dan membosankan. Sehingga sungguh ironis ketika para mahasiswa pertanian harus menunggu sampai kuliah untuk belajar bertani, tetapi anak-anak yang tidak ingin sekolah telah belajar hal itu ketika mereka berumur 10 tahun. Sungguh kekeliruan yang sangat luar biasa dalam sistem pendidikan di negeri ini!
Wajah kontras-paradoksal di atas tentu harus segera dibenahi, yang tentunya agar wajah kualitas sekolah semakin dipercaya, sehingga tidak terjadi sindiran kritis dari publik terkait sekolah seperti “Sekolah itu candu” karya Roem Topatimasang, “Orang miskin dilarang sekolah” karya Eko Prasetyo, “Sekolah dibubarkan saja!” karya Afdhillah dan lain-lain.
Dengan demikian, keresahan dan sindiran yang nyata di atas perlu dirubah ke arah yang lebih baik dan positif. Meskipun paradigma publik tentang sekolah telah mengakar sejak lama hingga telah kotor dihinggapi oleh indoktrinasi yang memang realistis terjadi di sekolah. namun adalah sebuah ironis jika kita hanya bisa memberikan keresahan dan sindiran tanpa adanya sebuah alternatif untuk mengembalikan wajah sekolah yang lebih positif. Kita harus berusaha merubah paradigma publik misalnya dengan menjadi pendidik yang tidak hanya mementingkan aspek kognitif serta mengetahui teori dan prakteknya di lapangan. Sehingga sekolah tidak menampakkan wajahnya yang paradoksal dan ambiguitas. Atau bisa juga dengan cara membuat buku, tulisan, dan media lainnya yang berisi teori praktis dan usaha untuk merubah wajah sekolah ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam
Sumber Bacaan :
Diskusi Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI dan pengurus lainnya
Afdhillah (Chu-diel). (2010). Sekolah Dibubarkan Saja!. Yogyakarta: Insist Press (Internet)
Moh. Yamin. (2009). Menggungat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nuryatno, Agus. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book
*Staff Kajian Pendidikan Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI ‘12
Oleh : Hilman Al-Rasyid*
“Semua yang kita lakukan bukan hanya karena suka atau tidak suka,
nyaman atau tidak nyaman, tetapi apa yang kita lakukan itu karena suatu
nilai yang kita inginkan. Walaupun kemanfaatannya kita rasakan, tetapi
jika tidak sesuai dengan nilai, apalah artinya?”
-Kaum Pragmatis-
Di zaman postmodernitas ini, untuk apa sebenarnya kita sekolah? Karena kita tahu banyak orang yang sukses tanpa sekolah. Lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik mereka orang yang sukses dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuah hasil penemuannya. Siapa yang menyangka bila pabrik raksasa pencetak manusia bernama sekolah yang selalu dikultuskan negara sebagai institusi pendidikan formal yang meniscayakan kualitas siswa yang unggul dan berkompetensi, justru terjadi paradoksal antara apa yang dipelajari dengan apa yang terjadi pada realitasnya, bahkan termasuk salah satu tempat pembunuhan karakter manusia. Sehingga demikian, apa tidak sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja?
Mungkin itulah beberapa pertanyaan dan keresahan manusia tentang sekolah. Seperti keresahan Chu-dhiel dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Dibubarkan Saja!.” Ia berpendapat dengan gagasannya yang kritis bahwa sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang hanya menjebak orang-orang untuk masuk ke dunia penuh khayalan karena mereka hanya disibukkan dengan belajar di kelas sembari membayangkan hal-hal yang mereka pelajari tanpa adanya aktualisasi diri di masyarakat ke depannya. Sekolah hanyalah institusi kapitalis yang menciptakan peraturan-peraturan aneh (seperti adanya seragam, jadwal belajar, dan cara belajar) yang terkadang bagi sebagian rakyat miskin, justru hanya akan menimbulkan petaka berupa kesia-siaan belaka tanpa makna.
Sebelum kita mengkritisi argumentasinya yang kontroversial, kita harus tahu terlebih dahulu apa sebenarnya penyebab ia berpendapat seperti di atas? Ternyata salah satu akar penyebabnya adalah bahwa sekolah selama ini cenderung hanya mengutamakan aspek kognitif tanpa mempertimbangkan aspek afektif dan psikomotorik. Serta selama ini sekolah hanyalah institusi eksklusif yang coba mengotak-ngotakkan golongan tertentu lantaran sekolah memang butuh biaya dan pada akhirnya kaum miskin pun hanya disuruh “gigit jari”. Dengan demikian, sekolah pun terkesan feodal bagi siswa.
Mengkritisi Sekolah
Memang hingga hari ini, sekolah mempunyai wajah buram seperti di atas. Kemudian jika sedikit melihat dari kacamata Mazhab Pendidikan Kritis, tentu tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan. Namun fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan bahkan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi dan multikulturalisme. Sekolah juga punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal besar dan para kapitalis. Sekolah juga punya visi untuk menjungjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, terutama kaum difabel.
Paulo Freire, salah satu tokoh mazhab pendidikan kritis berpendapat bahwa sekolah yang ideal adalah sekolah yang menekankan pada progresivitas atau kemajuan. Dia juga termasuk salah satu tokoh pendidikan barat yang ingin merubah wajah pendidikan ke arah dunia baru yang lebih baik. Lebih menariknya lagi, dia memberikan catatan penting bahwa sekolah dianggap baik dan berkualitas apabila ditopang oleh suasana dan keadaan yang sangat menarik minat anak didik untuk betah jika berada di sekolah (feel at home). Sekolah merupakan rumah kedua yang selalu memberikan keteduhan dan kesejukan sehingga membuat sekolah bukan layaknya penjara yang penuh pembebanan.
Dengan aturan sekolah yang begitu rigid dan detail, mulai jam masuk hingga pulang, kurikulum sekolah yang padat dan sumpek serta pelbagai buku yang harus bahkan wajib dibeli, justru akan menyebabkan mereka terbebani. Suatu kondisi yang ironis, jika lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu selalu melahirkan konstruksi berfikir anak didik yang eksploitatif bahkan mengarah pada dehumanisasi sehingga sekolah hanya mampu memproduksi barang setengah jadi. Ini juga bisa menjadi salah satu peluru bahwa sekolah sudah tidak diperlukan lagi.
Sebenarnya di sinilah letak pentingnya sikap kritis kita, bahkan mungkin kita bisa sedikit mengkritisi teori pendidikan kritis di atas yang terlihat liberalistis. Namun kita bisa mengambil pelajaran positif dari teori tersebut dengan mengedepankan norma-etis yang terdapat dalam Islam. Artinya ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa sekolah harus menjadi rumah kedua, tentu teori ini bisa kita ambil jika ada sebuah konsep yang jelas, karena dikhawatirkan anak didik akan merasa malas karena kenyamanan itu. Namun ketika teori pendidikan kritis berkata bahwa guru dan murid adalah sama-sama subjek, tentu hal ini tidak bisa kita terima. Karena dikhawatirkan ada sebuah penyimpangan moral dari murid terhadap sang guru. Sehingga, ada saatnya murid menjadi objek dan ada saatnya murid menjadi subjek.
Sekolah Tidak Diperlukan lagi; Pragmatisme Pendidikan
Kita tahu bahwa Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dll) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Pragmatisme mengajarkan kita sebuah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal dan kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan. Pragmatis dapat lahir sebagai tanggapan kekecewaan terhadap kenyataan hidup yang ada. Mereka selalu berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara instan, praktis, karena dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit matrealisme.
Tujuan pendidikan bukanlah untuk mencari selembar kertas bernama Ijazah, bukan juga untuk mencari point diatas kertas dan bukan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja serta kesuksesan sebuah proyek semata. Kalaulah itu tujuannya, maka terlalu banyak waktu dan biaya yang kita habiskan. Apalagi sekarang kita hidup di era modern, sudah banyak media informasi dan pengetahuan berupa internet, majalah, televisi, radio dan berbagai media pembelajaran yang lebih murah meriah bahkan gratis. Maka ini merupakan salah satu peluru bagi si pragmatis untuk mendapatkan pembenaran, ‘bahwa tidak perlunya sekolah’.
Berdasarkan hasil analisis faktual bahwa penyebab utama anak-anak berhenti sekolah karena kurangnya motivasi anak untuk pergi sekolah. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang tidak menarik bagi siswa. Mereka lebih memilih untuk bekerja yang lebih konkret dan langsung mendapatkan hasil daripada pergi ke sekolah yang merasa tidak ada manfaat yang didapatkan dan hanya akan menghabiskan waktu. Mereka tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran di sekolah karena terlalu sulit dan membosankan. Sehingga sungguh ironis ketika para mahasiswa pertanian harus menunggu sampai kuliah untuk belajar bertani, tetapi anak-anak yang tidak ingin sekolah telah belajar hal itu ketika mereka berumur 10 tahun. Sungguh kekeliruan yang sangat luar biasa dalam sistem pendidikan di negeri ini!
Wajah kontras-paradoksal di atas tentu harus segera dibenahi, yang tentunya agar wajah kualitas sekolah semakin dipercaya, sehingga tidak terjadi sindiran kritis dari publik terkait sekolah seperti “Sekolah itu candu” karya Roem Topatimasang, “Orang miskin dilarang sekolah” karya Eko Prasetyo, “Sekolah dibubarkan saja!” karya Afdhillah dan lain-lain.
Dengan demikian, keresahan dan sindiran yang nyata di atas perlu dirubah ke arah yang lebih baik dan positif. Meskipun paradigma publik tentang sekolah telah mengakar sejak lama hingga telah kotor dihinggapi oleh indoktrinasi yang memang realistis terjadi di sekolah. namun adalah sebuah ironis jika kita hanya bisa memberikan keresahan dan sindiran tanpa adanya sebuah alternatif untuk mengembalikan wajah sekolah yang lebih positif. Kita harus berusaha merubah paradigma publik misalnya dengan menjadi pendidik yang tidak hanya mementingkan aspek kognitif serta mengetahui teori dan prakteknya di lapangan. Sehingga sekolah tidak menampakkan wajahnya yang paradoksal dan ambiguitas. Atau bisa juga dengan cara membuat buku, tulisan, dan media lainnya yang berisi teori praktis dan usaha untuk merubah wajah sekolah ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam
Sumber Bacaan :
Diskusi Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI dan pengurus lainnya
Afdhillah (Chu-diel). (2010). Sekolah Dibubarkan Saja!. Yogyakarta: Insist Press (Internet)
Moh. Yamin. (2009). Menggungat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nuryatno, Agus. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book
*Staff Kajian Pendidikan Kementerian Pendidikan BEM REMA UPI ‘12
luar biasa Man lanjutkan karya besarmu Man sampai kamu jadi menteri Pendidikan aminnnnnnnnnnnnnnnnnn
ReplyDeleteby sahabat mu dikampung Inggris (Pare)
Thank you brad. Aaaamien :)
ReplyDelete