Penistaan Agama; Reaksi Kaum Moderat dan Kaum Radikal

Penistaan Agama; Reaksi Kaum Moderat dan Kaum Radikal

Akhir-akhir ini kita selalu dijejali oleh berita-berita tentang konflik SARA yang berbau agama dan sekterarian di tengah masyarakat. Hal yang demikian tentu menguras energi hingga kita lupa skala prioritas.

Saya melihat ada pergeseran pola pikir sebagian masyarakat kita secara signifikan terkait menyikapi keberagaman di Indonesia. Mereka cenderung intoleran dan selalu memandang apatis ketika menilai orang-orang yang berbeda dan seterusnya. Hal ini dikarenakan doktrin takfirisme yang sudah sedikit berhasil dalam merubah maindset masyarakat Indonesia yang sebenarnya mempunyai watak asli cinta akan persatuan.

Saya tidak akan mengurai lebih jauh terkait isu-isu radikalisme dan takfirisme. Karena kita sudah sama-sama sepakat mengenai bahayanya kelompok ini. Dan lagi pula, sudah ratusan buku dan artikel yang lahir guna menanggapi kelompok yang selama perjalananya selalu menuai kontroversi. Jadi saya rasa, yang demikian tidak perlu lagi.

Disini, saya bermaksud mengkritik sekaligus mempertanyakan peran-peran orang-orang yang mengaku kaum moderat atau bahkan liberal yang yang hadir sebagai anti thesis dari gerakan-gerakan radikal. Tapi sebelum itu, saya (sebagai penganut kaum moderat yang resah terhadap kaumnya) akan coba membuat polarisasi terbaru terkait fakta lapangan yang belum tentu ilmiah. Ini hanya berdasarkan pengamatan seorang yang resah terhadap situasi yang ada. Maaf bila saya menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan teori-teori baku dalam teori politik Islam.

(Polarisasi)
Pertama, Kelompok Radikal. kelompok ini sangat Komitmen terhadap satu gagasan dan mengsucikan simbol-simbol agama dengan kesakralannya. Mereka cendrung parsial dalam memahami satu fenomena agama dan politik. Kelompok ini mempunyai ciri khas tekstual dalam memahami agama dan mempunyai kecendrungan anti keberagaman. kelompok ini biasanya fanatik, namun mempunyai jiwa militansi yang sangat tinggi.

Kelompok ke dua adalah Moderat, kelompok ini sangat terbuka terhadap keberagaman tetapi tidak ingin terikat dengan satu ideologi tertentu. kelompok ini biasanya mempunyai jiwa toleransi yang tinggi, mencintai keberagaman. namun mereka tidak mempunyai militansi yang kuat,  dan tidak menaru perhatian terhadap hal-hal sakral. Mereka lebih berfikir kepada esensi dalam melihat suatu objek, hingga terkadang berlebihan dalam mengeyampingkan simbol.

(Fakta di Lapangan)
Bila dilihat dengan seksama pertarungan dua ideologi tersebut sedang berlangsung saat ini. Mereka saling berlomba menawarkan ide-ide dan gagasan entah sadar atau tidak. Namun pergulatan terus berlangsung.

Untuk kasus Indonesia, fakta dilapangan mengungkapkan bahwa kelompok Radikal saat ini lebih mendominasi dibanding kelompok Moderat. Ini bisa terlihat dari beberapa Kejadian ditengah masyarakat yang cendrung mengarah ke sana. Dengan maraknya aksi kekerasan atas nama agama dan acara-acara ritus-ritus atau sebuah kajian yang isinya cendrung menghilangkan sikap toleransi keberagaman. Hal ini juga bisa dilihat dari bebeberapa kutipan status-status di media sosial yang cendrung reaktif terhadap satu peristiwa dan pembenaran atas sikap-sikap yang mengarah ke persoalan SARA dan Primordial. Bahkan tidak jarang ditemui demonstrasi-demonstrasi yang mengundang konflik dengan massa yang tidak bisa dibilang sedikit jumlahnya

Hal ini menunjukan kecendrungan masyarakat saat ini lebih menyukai gagasan kelompok Radikal yang memang sangat terlihat eksotis. Karena kelompok ini mengesankan ketegasan dan keberanian lalu dibalut dengan kelihaian retorika para tokoh-tokohnya yang cukup memadai. Layaknya seorang orator ulung sehingga mampu menghipnotis masyarakat yang memang terperangkap dalam dogma-dogma anti kritik

Lalu bagaimana dengan kelompok Moderat. Sebenarnya tidak bisa disebut lebih sedikit. Tapi dalam basis penelitian, rasanya wajar bila kita melihat secara utuh dan fakta dilapangan dan bukan klaim semata.

Kelompok Moderat ini, karena dari awal sudah terlanjur menganggap bahwa sebuah pergerakan massa adalah bentuk dari fanatisme. Mereka cendrung enggan meladeni secara langsung serangan-serangan dari kelompok Radikal. Mereka lebih memilih mengcounter kelompok tersebut dengan gagasan-gasasan dan ide pemikiran dalam studi-studi ilmiah berupa kajian, seminar, diskusi, tulisan-tulisan artikel atau paling tidak, hanya sekedar mengecam dalam status-status FB dan Twiter berupa himbauan atau surat-surat terbuka yang sedang ngetrend saat ini.

Bila di analisa, tentu bisa dimaklumi bahwa kelompok Radikal lebih diminati oleh masyarakat daripada kelompok Moderat. Kita bisa lihat ada beberapa faktor yang melarbelakangi. Kelompok Radikal lebih mempunyai tempat di hati masyarakat karena mereka mempunyai semangat yang lebih untuk menularkan gagasannya hingga ke gress root. Selain itu, gagasan ini sangat mudah dicerna dan cocok bagi mereka yang memang kurang beruntung secara pendidikan maupun wawasan. Tidak bisa dipungkiri, hal ini tentu selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini yang sedang mengalami degradasi nilai dan miskin figur

Sedangkan kelompok Moderat, sedikit sulit berkembang karena cendrung terlihat ELITIS dan hanya bisa dikonsumsi dalam ruang-ruang privat dengan segala fasilitas kewemahannya. Ini bisa dilihat bahwa kelompok ini sering menularkan gagasannya pada seminar-seminar di kampus atau bahkan di hotel dan cafe. Hal semacam ini tidak salah, tapi tentu sangat sulit dikonsumsi oleh masyarakat menengah kebawah. Tentu dari sini bisa diwajarkan mengapa kelompok Moderat sulit berkembang guna menawarkan gagasannya.

(Kritik)
Akar dari permasalahan kelompok ini ialah, cara berfikir yang pragmatis karena selalu melihat satu peristiwa dengan kacamata politis. Walaupun tidak semua, Kelompok ini menganggap bahwa Komitmen terhadap satu gagasan adalah sesuatu hal yang berlebihan dan sangat berpotensi mengarah ekstrimis. Terkungkung pada satu dogma yang karena itu membuat orang menjadi fanatik dan tertutup. Ketakutan tersebut didasari dari efek traumatik karena mereka melihat kelompok Radikal.

Ini merupakan titik lemahnya. Karena bagaimanapun ideologi adalah sebuah spirit perjuangan yang tanpanya hidup terasa hambar dan merasa selalu apatis. Karena tidak ada harapan yang jelas, tidak ada prioritas selain dirinya dan keamanannya. Kelompok Moderat sangat berpotensi melahirkan sikap individualisme akut.

Padahal komitmen terhadap satu gagasan merupakan penegasan identitas dari hasil pertanggung jawaban atas konsekwensi pengkajian secara komparasi. Karena pemikiran yang tidak menimbulkan aksi, bisa disebut paradoks dan invalid. Oleh kerena itu, komitmen tidak berarti penafikan terhadap plurarisme dan keterbukaan atas keragaman. Mereka terlalu beretorika perihal esensi lalu membuang simbol tanpa melihat situasi dan kondisi. Mereka terlalu lama diskusi tanpa bisa membumikan hasil dari diskusinya tersebut ke tengah masyarakat.

Kadang mereka lebih memilih menjadi penonton atas peristiwa yang terjadi lalu seenaknya melakukan spekulasi dari segala peristiwa tersebut, seraya berkata "Ini konspirasi, ini politik, ini itu, ini sana, ini ada kepentingan, kita jangan ikut-ikutan".Tapi tidak mau turun untuk menyelesaikan. Maka, jangan heran, bila kelompok Radikal lebih mengusai lapangan. Karena mereka mempunyai ideologi yang jelas walaupun ngaco. Karena Dari ideologi akan menimbulkan aksi. Ini yang mungkin tidak disadari oleh kelompok Moderat.

Dengan sekelumit persoalan ini, kita harus menciptakan paradigma baru untuk konteks Indonesia guna melawan gelombang kelompok radikal yang sudah masif secara diam-diam terutama lewat Youtube dan SOSMED. Maka saya kira, sangat perlu untuk merubah teknik marketing terkait gasasan-gagasan tentang toleransi agar lebih menyentuh ke masyarakat gressroot.

Saya berharap keresahan saya ini juga dirasakan oleh kawan-kawan se-visi. Atau ada kawan-kawan yang bersedia melengkapi tulisan saya yang masih amburadul dan tercecer ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penistaan Agama; Reaksi Kaum Moderat dan Kaum Radikal"

Post a Comment