Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Oleh :
Hilman Rasyid*
“Tidak mungkin negara Indonesia
maju tanpa disiplin”
-Popong otje
djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI)
Di tengah
kebobrokan dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan,
inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian yang
tanpa peduli sesama, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis
religius menjadi relevan untuk diterapkan. Pendidikan karakter ala
foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan
panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme
kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang dipelopori
oleh filusuf Prancis Auguste Comte.
Tradisi pendidikan
di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter
sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam
setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Kebanyakan guru hanya
mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat peserta didik
menjadi “beo” yang dalam setiap ujian cuma mengulangi apa yang dikatakan
guru. Jika kita melihat sejarah, ternyata sikap pasif dan adaptif
terhadap teks (buku pelajaran) dipengaruhi oleh gelombang budaya
positivisme yang lahir dari rahim kapitalisme yang mengakibatkan
terjadinya degradasi fakultas kritis para peserta didik. Akibatnya
peserta didik hanya akan menerima apa adanya, tanpa reserve,
dan tanpa kritik. Mirisnya lagi, dunia pendidikan kita masih sibuk
berkutat dengan problematika internalnya seperti penyakit dikotomi,
profesionalitas pendidiknya, sulit meratanya pendidikan, sistem
pendidikan yang masih lemah, pendidikan dikomersialisasikan dan
sebagainya.
Melirik Problematika
Pendidikan
Dunia pendidikan kita
sepertinya telah melupakan tujuan utama pendidikan, karena dilihat dari
semakin menyimpangnya dari tujuan pendidikan. Kita ketahui bahwa
problematika pendidikan merupakan suatu kendala yang akan menghambat dan
menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Kita ambil saja salah satu
kebijakan yaitu sistem Ujian Nasional (UN); suatu kebijakan yang sudah
menjadi kontroversi. Dengan adanya kebijakan bahwa tolak ukur kelulusan
ditentukan hanya dari nilai UN tanpa melihat sebuah proses dan nilai
lain, maka pendidikan telah dijadikan layaknya sebuah mesin yang hanya
mencetak para peserta didik yang pintar tapi tidak bermoral dan
pragmatis yang kemudian menjadi para penganggur. Sehingga, kebijakan UN
ini sangat bertentangan sekali dengan wacana pendidikan berbasis
karakter dan budaya.
Kemudian aksesibilitas pendidikan
yang ternyata sangat sulit dilakukan hingga ke pelbagai pelosok di
Indonesia. Menurut Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI),
-sewaktu penulis berdiskusi dengan beliau pada hari kamis (3/5)- bahwa
sulitnya pemerataan pendidikan disebabkan 2 kondisi; pertama, kondisi
fisik Indonesia yang secara geografis mempunyai sekitar 17.000 pulau,
sehingga aksesibilitas pendidikan sulit merata. Kedua, kondisi non fisik
yang tentunya dilihat dari sistem pendidikan di Indonesia yang masih
lemah. Banyak juga para pejabat dalam sektor pendidikan yang tidak dan
bukan orang yang menguasai pendidikan. Sehingga kita bisa lihat
faktanya, bahwa pendidikan kita telah keluar dari jalan yang sebenarnya
bahkan kehilangan arah.
Jika kita lihat aksesibilitas
pendidikan dari segi anggaran, yang faktanya banyak dana/anggaran
pendidikan yang tidak tepat sasaran dan entah masuk ke rekening siapa.
Faktanya, meskipun dibantu dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang menjadi sebuah tindakan solusi emergency, masih
banyak anak-anak miskin yang tetap tidak bisa mengenyam pendidikan dasar
dikarenakan tetap mahalnya biaya lain, seperti seragam sekolah yang
bermacam-macam yang harus dibeli dengan harga mahal, biaya buku dari
sekolah yang mahal pula dan sebagainya. Meskipun di sisi lain dana
pendidikan yang bayak dikorupsi, mungkin itulah yang menjadi kendala
esensial krusial bagi anak-anak miskin di Indonesia untuk mengenyam
pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama. Yang mengejutkan lagi,
anggaran pendidikan 20% dari APBN ternyata bukan hanya masuk pada
kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, melainkan masuk ke-18
kementerian. Karena masing-masing kementerian mempunyai kepentingan
dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Arah
ideologi pendidikan sekarang sepertinya hanya bertumpu pada kebutuhan
arus pasar semata. Padahal ideologi pendidikan sangat berbeda dengan
ideologi pasar. Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai
etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada
nilai-nilai pragmatis-materialistik. Ketika ideologi pasar telah
mendominasi dunia pendidikan, maka ideologi pendidikan kita akan
terseret jauh sehingga pendidikan hanya mencetak lulusan-lulusan yang
pragmatis dan amoral.
Pendidikan Karakter;
Hanya Sebuah Wacana Pemanis?
Jika
melihat secara historis, istilah karakter dipakai dalam pendidikan
pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster. Terminologi
ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan
yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi
prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor
penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan
sosial.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan karakter ini hanya
akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan
menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Begitu pentingnya
pendidikan karakter ini, sehingga Mahatma Gandhi memperingatkan tentang
salah satu dari tujuh dosa fatal adalah “education without
character” (Pendidikan tanpa karakter). Pendidikan karakter di
negara-negara lain telah menjadi skala prioritas. Menurut Masnur
Muslich, pendidikan karakter di beberapa negara dimulai sejak pendidikan
dasar (elementary school), seperti di China, Amerika Serikat, Jepang,
dan Korea. (Pendidikan Karaker, 40:2011)
Pendidikan
karakter ini merupakan sebuah upaya yang harus melibatkan semua pihak
baik sekolah, keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena
itu, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil selama antar
lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Karena
karakter dan subjektifitas manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang
dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah, sistem politik yang mengatur
publik, media massa dan televisi yang menyuplai informasi serta
entitas-entitas lain yang turut mempengaruhi kesadaran individu.
Sehingga dengan begitu, para peserta didik tidak hanya mampu
mendemistifikasi kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas dan
mampu menyingkap fenomena-fenomena sosial, tetapi mereka juga bisa
mempertahankan idealisme dan prinsipnya dengan baik.
Karakter
yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia
dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang.
Sehingga, kesuksesan orang tua dalam membimbing anaknya sangat
menentukan kesuksesan anaknya dalam kehidupan sosial di masa dewasanya
kelak. Seperti yang dikemukakan oleh Freud bahwa kegagalan penanaman
kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang
bermasalah di masa dewasanya kelak. Teringat juga sebuah saran dari
Philips yang menyarankan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school
of Love (Sekolah untuk kasih sayang) atau tempat belajar yang
penuh cinta dan kasih sayang. Penyair Arab al-Hafidz Ibrahim juga pernah
menulis bahwa Ibu adalah sekolah, jika dipersiapkan dapat membentuk
bangsa yang baik dan kuat.
Sistem
Pendidikan yang Ideal
Sebuah
sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk
manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan
sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Li Lanqing, seorang politikus
China yang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang
pendidikan. Dia menekankan bahayanya sistem pendidikan yang terlalu
menekankan hafalan (kognitif), drilling, dan cara mengajar yang
kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus
dalam ujian. Sebagai hasilnya, China bisa mengejar ketertinggalan
ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan
oleh Mao Zedong antara tahun 1966 dan 1976.
Sistem
pendidikan ideal adalah suatu sistem yang mampu menanggulangi kebutuhan
peserta didik yang berorientasi pada norma-norma idealisme serta akhlaq
yang terpuji, bukan sistem yang hanya menitik-beratkan pada kecerdasan
intelektual semata, tetapi harus diimbangi dengan kecerdasan spiritual
dan kecerdasan emosional secara selaras, serasi, dan seimbang serta
mampu menterapkan norma-norma agama Islam dengan akhlaq yang terpuji.
Dengan begitu, perlu adanya pendidikan Islam sebagai dasar pembentukan
moral. Pendidikan Islam yang menekankan pada dimensi normatif-teologis
akan memberikan kontribusi dalam memecahkan persoalan-persoalan
empiris-sosiologis yang terjadi di masyarakat. Sistem pendidikan yang
baik akan menghasilkan manusia-manusia yang mumpuni kemampuannya serta
terpuji akhlaqnya, sehingga bangsa kita akan bangkit, beradab, dan
berkarakter. Karena pendidikan bukanlah segalanya, tapi segalanya
berawal dari pendidikan.
Wajah pelbagai problematika
pendidikan harus segera dibenahi atau diakhiri agar bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang maju dan berkarakter sehingga tidak akan muncul
sindiran-sindiran tajam di publik seperti “Sekolah itu candu” (Roem
Topatimasang,2004), “Orang Miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo,2005)
dan lain-lain. Dunia pendidikan jangan sampai dijadikan sebagai kelinci
percobaan dalam setiap kebijakan-kebijakannya, karena rakyatlah yang
pasti akan menderita. Membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang
baik dan benar hanya dapat diwujudkan dengan sistem yang telah teruji,
terbukti, dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat (pro-rakyat).
Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, berkembang, sejahtera kini,
esok, dan selamanya. Bravo Pendidikan Indonesiaku !!
*-Staff
Kajian Pendidikan BEM REMA UPI’12
-Ketua Departmen Humas
BEM KEMABA UPI’12
-Sekretaris Umum HIMA Persis UPI’12
0 Response to "Quo Vadis Pendidikan Indonesia"
Post a Comment