ISLAM DAN DEMOKRASI SEBUAH MASALAH
Oleh : Shiddiq Amien
Kajian, Diskusi, dan perdebatan tentang Islam dan Demokrasi telah sejak lama dilakukan oleh dan di antara pihak-pihak yang memiliki pandangan yang bersebrangan. Di satu pihak menilai bahwa Islam dan demokrasi compatible ( cocok, serasi), di pihak lain menilai bahwa demokrasi adalah system bathil dalam Islam.
Demokrasi ibarat bola salju yang terus menggelinding dan semakin besar. Konsep ini berintikan semangat menempatkan rakyat pada kedudukan tertinggi. Semua tindakan ditujukan untuk kebaikan dan kemakmuran rakyat, rakyatlah pemegang keputusan tertinggi. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Menentang keputusan rakyat adalah ademokratis. Mematikan hak politik rakyat dan menjadikannya terkekang dalam kungkungan tirani juga ademokratis. Melakukan penghisapan terhadap perekonomian rakyat juga ademokratis. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kemauan rakyat adalah kemauan Tuhan.
Kata Demokrasi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari gabungan dua kata, yaitu Demos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti pemerintahan. Orang Yunani yang pertama kali mengembangkan demokrasi sebagai system pemerintahan setiap kota (polis). Demokrasi bermakna pemerintahan atau kekuatan rakyat ( power or strength of the people ). Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, yang dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat ( government of the people, by the people, and for the people ). DR. Abdul Wahab Al-Kiyali dalam kitab Masu'atu Siyasah II/756 menjelaskan : Semua Negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran, yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya pada intinya demokrasi itu adalah kedaulatan di tangan rakyat. Tentang Demokrasi perwakilan disebutkan : bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka, yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam demokrasi perwakilan adalah memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan.
Dalam setting sosio-historisnya, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut dengan mengatasnamakan Tuhan, sepanjang abad pertengahan ( abad 5-15 M) . Di satu sisi ekstrem , dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja di Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan ( politik, ekonomi, sosial, budaya, dll ) kepada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya dominasi gereja dan raja ditentang keras oleh para filusuf dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja dalam kehidupan.
Terjadinya reformasi gereja ( renaissance ) menjadi titik awal runtuhnya dominasi gereja. Peralihan dari sistem kekuasaan berdasarkan perwakilan Tuhan menuju system kedaulatan rakyat, tidaklah berjalan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang dahsyat, yakni Revolusi Prancis tahun 1789. motto yang didengungkan waktu itu : "Gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir." Sejak saat itu muncul rumusan jalan tengah dari dua kutub yang sangat diametral itu, yang terumuskan dalam paham Sekulerisme. Yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, masih diakui meski terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara hubungan antar sesama manusia diatur oleh manusia itu sendiri, bukan oleh Tuhan atau agama.
Dengan demikian demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : Pertama, Hak membuat undang-undang (legislasi) Inilah prinsip kedaulatan rakyat. Prinsip ini kebalikan dari hukum yang dibuat oleh para tokoh gereja atas nama Tuhan. Kedua, Hak memilih Penguasa. Ini prinsip kekuasaan rakyat. Ini merupakan kebalikan dari system sebelumnya dimana penguasa diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam system monarki absolut. Jadi dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan ( Source of legislation and authority ). Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan leluasa sebagai pembuat undang-undang dan sumber kekuasaan, demokrasi memberikan 4 kebebasan ( Al-Hurriyat/freedom) : 1) Kebebasan beragama 2) kebebsan berpendapat 3) kebebasan kepemilikan, dan 4) kebebasan berprilaku.
Dalam demokrasi juga dikenal prinsip Trias Politica yang membagi kekuasaan politik menjadi tiga : Eksekutif, Yudikatif dan legislative. Yang diwujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas ( independent ) dan berada dalam posisi sejajar (neben) dengan maksud agar satu sama lain bisa saling mengawasi, saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Dalam perkembangannya, seiring berjalannya waktu, konsep demokrasi turut mengalami perkembangan. Disamping diserukan oleh banyak kalangan, dimana masing-masing dari mereka merumuskan makna demokrasi, bahkan banyak dikaitkan dengan keyakinan dan tujuan masing-masing. Demokrasi menjadi beragam. Di Indonesia saja dikenal ada demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Wajar jika dalam tataran konsep dan teorinya beragam, serta dalam praktiknya masih bersifat trial and error, sementara kompleksitas persoalan manusia begitu rumit, membuat banyak pihak yang skpetis dengan demokrasi. Demokrasi juga dinilai telah mengalami pencemaran, ketika Barat memonopoli makna demokrasi dan memaksakan nilai-nilai demokrasi yang dianutnya kepada negara-negara lain. Seperti disitir Noam Chomsky, bahwa sebenarnya lewat formula demokrasi dan pasar bebas ( free market ) sejak kemenangan Barat dalam perang dingin, demokrasi mendapat pengakuan di seluruh dunia, seolah kalau tidak menerapkannya akan menjadi negara tertinggal dan akan hancur. Ambil contoh ketika AS dan sekutunya mengagresi Irak dan Afganistan dengan dalih negara-negara tersebut memiliki senjata pemusnah masal dan menjadi biang terorisme dunia, konsep demokrasi dipaksakan agar dianut oleh kedua negara tersebut.
Sejak awal 1980-an banyak negara di kawasan Amerika Latin, Eropa Selatan, Eropa Timur, Afrika dan Asia mengalami proses transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi. Meskipun sebagian tertatih-tatih negara semisal : Portugal, Brazil, Argentina, Afrika Selatan, Polandia, Hungaria, Filipina, Indonesia, dsb. menyambut proses transisi itu dengan antusias. Meski dalam praktiknya banyak yang mengalami kesulitan dan hambatan bahkan tidak sedikit yang justru makin terpuruk.
Di tengah Euporia demokratisasi yang sedang berlangsung, dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari proses tersebut. Banyak buku telah ditulis tentang transisi demokrasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, namun dengan sengaja para pakar atau penulis buku itu tidak melibatkan dunia Islam sebagai bagian dari proses demokratisasi itu. Alasannya karena kurang menemukan bahan yang mempertegas keterlibatan dunia Islam dalam prose itu, ditambah lagi dunia Islam dianggap tidak memiliki prospek dan pengalaman demokrasi yang cukup memadai. Samuel P Huntington dalam bukunya The Third Wave, menyatakan bahwa selain konfusionisme, nilai-nilai Islam diragukan mempunyai kesesuaian dengan prinsip demokrasi. Keraguan tersebut juga didasarkan kepada fakta bahwa mayoritas Negara-negara muslim khususnya di Timur Tengah tidak menerapkan system demokrasi, melainkan system kerajaan. Seperti : Arab Saudi, Jordania, Kwait, UEA, Qatar, dsb. Juga realitas sejarah Islam yang dinilai banyak pemerintahan despotik yang dikemas dengan baju Islam seperti praktik-praktik yang dilakukan oleh banyak pengauasa Bani Umayah, Bani Abbasiyah, dan Turki Utsmani. Sejarah khilafah dikesankan hanya sebagai sebuah fragmen sejarah yang penuh darah, kekacauan dan konflik. Khalifah yang diktator otoriter, pembunuhan yang terjadi sejak khalifah Umar, dan perlakuan diskriminatif terhadap wanita dan non muslim.
Di kalangan tokoh muslim banyak yang menilai bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Tokoh Persis, Bapak M. Natsir yang mempertahankan argument kesesuaian tersebut. Hanya saja politisi Masyumi ini menambahkan kata "Teo-" atau "teistik" di depan kata demokrasi. Jika ditebak M. Natsir menginginkan demokrasi yang diimbangi dengan nilai-nilai Islam. Natsir memang tidak sendirian. Banyak tokoh lain yang berpandangan sama. Penerima Hadian Nobel Perdamain 2003, Shirin Ebadi, Pria kelahiran Iran ini dengan lantang menyatakan bahwa menjadi muslim bukan berarti tidak bisa menjadi pendukung demokrasi yang baik seperti dilakukan orang-orang Barat. Ebadi dengan percaya diri menyatakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi.
Bagi sebagian kalangan, pernyataan Ebadi ini bisa dinilai sebagai preposisi yang tidak memiliki akar empiris yang kokoh. Namun pengalaman pemilu 2004 yang demokratis di Indonesia, (Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) telah menepis sikap skeptisme yang sudah mengakar. Tidak ada setetes darahpun tumpah dalam kegiatan pemilu yang diikuti oleh multi partai itu.
Robert Hefner , Professor Antropologi di Boston University juga membantah keragu-raguan sarjana Barat yang memandang Islam is not compatible with democracy. Dalam bukunya : Civil Islam : Muslim and democratization in Indonesia, dengan jelas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia yang ditemukan melalui penelitiannya adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Islam dan demokrasi dinilainya bisa berjalan seiring, karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, kesetaraan dan mendukung partisipasi masyarakat.
Memang ada yang unik dari system demokrasi di Indonesia, Banyak nilai dan ajaran Islam yang masuk menjadi peraturan perundangan Negara , ini dibuktikan dengan adanya : UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan, UU Perwakafan, UU Peradilan Agama, UU Perbankan Syari'ah, Kompilasi Hukum Islam. Yang dalam system demokrasi liberal sekuleristik merupakan sesuatu yang " diharamkan ".
Bagi sebagain kalangan muslim lainnya, demokrasi ditolak mentah-mentah, sebagai sebuah system bathil. Islam memiliki system khilafah. Gagasan untuk menghidupkan kembali khilafah agaknya tidak pernah pudar. Sejak Jamaluddin Al-Afghani menyerukan perlunya khilafah (politik) di Istanbul dan khilafah keagamaan di Mekkah, juga ide khilafah yang dikembangkan para pemikir seperti : Abdurrahman Al-Kawakibi (Suriah), Abu Ala Al-Maududi (Pakistan), dan Taqi al-Din an-Nabhani (Palestina ) Pendiri Hizbut Tahrir.
Syaikh Abdul Qadim Zallum seorang tokoh Hizbut Tahrir dalam bukunya : " Ad-Dimuqrrathiyyah Nizhamul Kufr" (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi antara demokrasi dengan Islam, antara lain :
a. Dari segi sumber : Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.
b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam, asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS. 2 :208).
c. Dari segi standar pengambilan pendapat : demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam. Standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rincinya : (1) Jika materinya menyangkut status hukum syari'ah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), dimana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan suatu apa pun pada saat melakukan aktivitas ('adam al-taqayyud bi syai'in 'inda al-qiyam bi al-'amal) (Zallum, kaifa Hudimat al-Khilafah, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum syariah Islam (al-ashlu fi al-af'aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar'i).
Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya itu menegaskan tanpa ragu-ragu : "Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negri-negri Islam, sesungguhnya merupakan system kufur, tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun rinci…. Oleh karena itu kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi."
Abul A'la al-Maududi membedakan antara " Kedaulatan rakyat " dalam demokrasi Barat dengan "Khilafah Rakyat " dalam konsep Islam. Dalam konsep Kedaulatan Rakyat, rakyat berdaulat atas segalanya dan menjadi tujuan akhir yang tinggi. Sedang Khilafah Rakyat berarti kedaulatan milik Allah, rakyat adalah khalifah atau wakil. Sebagai wakil, manusia dituntut untuk melaksanakan ketentuan dan kemauan Allah. Pemerintah dan rakyat bersama-sama memenuhi kehendak dan tujuan Allah. Maududi menyinggung kelemahan demokrasi, dalam hal pembuatan undang-undang. Konsep demokrasi menghendaki rakyatlah yang membuat undang-undang menurut kemauannya masing-masing. Sementara pemerintah berusaha memenuhi keinginan rakyat. Dalam konsep Islam, rakyat menaati undang-undang yang telah digariskan Tuhan lewat syari'at-Nya yang sempurna. Potensi kreatif dan kebebasan untuk melahirkan undang-undang tetap diakui, namun harus becermin dengan ketentuan universal syari'at. Suara rakyat dalam demokrasi adalah absolut, sedangkan dalam Islam yang absolut hanya suara dan kemauan Allah. Konsekwensi dari hal itu, menurut H.A.R. Gibb dalam Modern Trends in Islam, Vox Populi (suara rakyat) dalam pandangan Islam harus tunduk pada Vox Dei ( Kemauan Tuhan ) dan Vox Propethei ( kemauan Nabi ).
Khilafah sebagai sebuah lembaga politik, bermula pasca wafatnya Nabi saw. Kekhalihan ini dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidun, berturut-turut : Abu Bakar, Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Khilafah menurut sejarawan Ibnu Khaldun tamat dengan berakhirnya masa khulafaur Rasyidun. Entitas politik Islam selanjutnya seperti Dinasti Bani Umayah, Dinasti Bani Abasiyah dan Dinasti Utsmaniyyah bukanlah khilafah, karena suksesinya berdasarkan tali kekerabatan, bukan hasil pilihann umat berdasarkan merit. Semua entitas politik pasca Khulafaur-Rsayidun adalah kerajaan atau kesultanan.
Jika terhadap demokrasi banyak pihak yang skeptis, tak terkecuali terhadap system khilafah. Gagasan khilafah pada masa modern kontemporer yang menyerukan pembentukan kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam atau umat manusia di muka bumi, dipertanyakan kemungkinan dan keberlangsungannya (viability)
Al-Maududi yang merumuskan khilafah secara komprehensif, akhirnnya " menyerah " kepada realitas Negara-bangsa ( nation state ). Pakistan pascapartisi Anak Benua India pada tahun 1947 lalu mendirikan parpol Jamaat Islamy untuk mewujudkan cita-citanya mencapai khalifah.
Pertanyaan besar yang perlu dicari jawabannya : Mungkinkah Demokrasi dengan Islam berjalan parallel. Satu sisi terarah kepada kemaslahatan manusia, dan sisi lain menjungjung tinggi perintah dan larangan Allah? Sehingga keduanya bisa berjalan sinergis dan tidak saling menegasikan ? Wallahu'alam.
Published by Hilman Rasyid
0 Response to "ISLAM DAN DEMOKRASI SEBUAH MASALAH Oleh : Shiddiq Amien"
Post a Comment