Pergerakan Mahasiswa dalam perpektif sejarah Oleh: Adman, S.Pd

A.    Pergerakan Mahasiswa dalam perpektif sejarah
Oleh :  Adman, S.Pd.

GERAKAN MAHASISWA mulai memainkan peranan dalam sejarah sosial sejak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford pada abad Ke-12 dan abad Ke-13. Semboyan mereka saat itu ialah Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus, artinya: "Kita bergembira, selagi kita muda.".

Sebenarnya sebuah jargon yang cukup lucu ketika ungkapan seperti di atas keluar dari seseorang yang berstatus sebagai seorang pemikir yang semestinya menjadi sebuah contoh, bagi masyarakat tentang bagaimana seharusnya seseorang berpikir, pun tidak dipungkiri mahasiswa adalah seorang pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa. Pada saat berjuang biasanya mahasiswa mengusung kata “idealisme” sebagai poros perjuangannya. Mahasiswa tidak mampu menjadi agen perubahan dengan hanya berbekalkan idealisme dan semangat semata-mata tanpa kesadaran serta usaha-usaha untuk menguasai ilmu dan kemahiran yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
   
Perjuangan golongan terpelajar untuk melakukan perubahan secara berkesinambungan memerlukan kekuatan yang boleh diterjemahkan dalam bentuk penguasaan ilmu dan usaha-usaha melahirkan cerdik pandai di kalangan sendiri, dengan kata lain idealisme adalah sebuah pengejawantahan dari kematangan proses berpikir, dan tanggung jawab implementasinya di masyarakat.

Immanuel Kant, pernah berkata bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti. Maka dalam sejarah, gerakan mahasiswa telah menggoreskan tinta emasnya sebagai avant garde dalam setiap perubahan yang terjadi dalam tubuh bangsa ini. Topik mengenai gerakan mahasiswa seolah tak pernah habisnya untuk terus dikaji, begitu fenomenalnya gerakan mahasiswa sehingga diberikan label yang prestisius sebagai agent of change, agent of control dan berbagai label lainnya.
TAK berlebihan jika mahasiswa diidentikkan dengan berbagai label, di antaranya sebagai agent of change, iron stock, dan label-label lain yang kadangkala menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam arti luas. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat terdidik mesti merespons apa sebenarnya yang sedang terjadi hangat di masyarakat.
Jika kita meneropong dengan kacamata sejarah, mahasiswa memang mempunyai romantisme sejarah yang kuat. Dan hal itu bisa menjadi sumber energi dan juga bisa menjadi beban. Pada setiap zamannya, mahasiswa mempunyai peran yang tidak bisa dianggap remeh.
Sejarah telah membuktikan hal itu. Tengoklah misalnya pergerakan nasional tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda, semuanya tidak terlepas dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Yamin, Sugondo Joyopuspito, dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lain yang sedang menuntut ilmu di GHS (Geeneskundige Hogere School) maupun di RHS (Recht Hogere School) yang sekarang melebur dan menjadi bagian Universitas Indonesia.

Begitu pun pada pergerakan tahun 1945 dan 1966, mahasiswa kembali menorehkan tinta sejarahnya yang masing-masing menghasilkan kemerdekaan Indonesia dan munculnya Orde Baru. Yang paling akhir adalah reformasi 1998 yang berhasil menjatuhkan rezim despotik Orde Baru yang telah "manggung" selama 32 tahun.
Untaian sejarah mahasiswa pada zamannya itu memberikan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang lebih jika dibandingkan dengan elemen masyarakat lain. Dan itu membutuhkan satu kesadaran. Kesadaran yang tumbuh dari setiap mahasiswa bahwa ia tidak saja mesti menyelesaikan tugas-tugas akademik di kampus, namun juga mesti mampu menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan yang ternyata jauh lebih rumit ketimbang belajar teorinya dan baca buku di dalam kelas. Keseimbangan dua aspek tadi yakni teori dan praktik setidaknya akan membentuk pemahaman yang utuh. Teori saja tanpa praktik adalah omong kosong, dan praktik tanpa teori dikhawatirkan akan caos.

Mahasiswa bisa diibaratkan adalah sosok intelektual muda yang nantinya diharapkan bisa menjadi cendekiawan. Tentu tidak mudah menapaki jalan hidup ke sana, penuh liku dan jalan terjal yang mesti dilalui. Karena menjadi seorang cendekiawan yang konsisten kadangkala mesti berseberangan dengan penguasa yang bisa jadi jalan yang dipilihnya itu menyeret pada pengapnya "hotel prodeo" alias penjara.
Lagi-lagi kita mesti membuka lembaran sejarah mengenai hal ini. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Natsir, Hamka, dan yang lainnya adalah sederet cendekiawan yang pernah merasakan dinginnya tembok penjara karena tetap meneriakkan kebenaran ketika semua orang tiarap. Inilah risiko yang mesti ditanggung. Seorang cendekiawan yang lurus bisa dipastikan akan lebih banyak menemui badai ketimbang damai.
Seperti yang pernah ditulis oleh Julien Benda, seorang cendekiawan Prancis dalam bukunya yang cukup terkenal "La trahison des clercs" (1927) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Pengkhianatan Kaum Cendekiawan" (hlm. 28-32) mengatakan bahwa cendekiawan tidak boleh terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa, dan geografi.
Ia harus merasa sebagai unit komunitas global sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka.

Berbeda dengan sosok cendekiawan, menurut Benda, semua jenis aktivitas politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materalisme, praktikalisme, dan aktivisme. Oleh karena itu cendekiawan tidak boleh terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti minimal terlibat-menyebarkan kebencian terhadap ras lain, faksi politik, dan sangat bangga dengan nasionalisme.
Benda mencatat cendekiawan seperti Mommsen, Treitschke, Ostwald, Brunetiere, Barres, Lemaitre, Peguy, Maurras, d'Annuzio, dan Kipling yang cenderung praktis, haus dengan hasil yang sementara, semata-mata memikirkan tujuan dan bukan proses, masa bodoh dengan argumentasi, overacting, suka menyebar kebencian dan mempunyai obsesi sebagai cendekiawan yang akrab dengan dunia politik, militer, dan diplomasi.
Benda memuji-muji cendekiawan seperti Gerson, Spinoza, Zola, Duclaux, da Vinci, Malebranche, Goethe, Erasmus, Kant, Renan, dan sebagainya yang selalu mengecam pertikaian antara egoisme dan arogansi manusia. Dengan demikian bahwa spirit dari seorang cendekiawan adalah menyuarakan kebenaran yang berpihak pada masyarakat bukan menjadi corong para penguasa. Persis ketika seorang Milan Kundera berseru bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.

Dengan itulah kemudian sesungguhnya seorang mahasiswa mengemban tugas seorang intelektual yang sungguh berat. Apalagi jika kita tahu bahwa biaya pendidikan kita (baca:mahasiswa) sebagian ditanggung oleh dana yang diserap dari masyarakat. Fenomena hari ini menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun rasa kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat agaknya mengalami penurunan yang cukup berarti, mereka telah dininabobokan oleh budaya hedonisme dan terjerat ke dalam kubangan kapitalisme. Dua budaya ini lamat-lamat memasuki relung kehidupan kita tanpa sadar.
Sederhana saja jika kita ingin melihat fenomena ini. Cobalah bandingkan lebih banyak mana mahasiswa yang mengidap --meminjam istilah teman saya-- sindrom lingkaran setan yakni kosan, kuliah, nongkrong, dan begitu seterusnya tanpa memiliki variasi kegiatan yang cukup bermakna dengan sebagian mahasiswa yang berkecimpung di unit-unit kegiatan mahasiswa di intra maupun di ekstra kampus.
Tentu kita akan lebih banyak menyaksikan yang pertama ketimbang yang kedua. Persoalannya tentu tidak sederhana. Mereka dikirim orang tua untuk menuntut ilmu memang iya, namun yang mesti harus kita sadari bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dan memilih sesuatu akan meniscayakan sebuah konsekuensi yang mesti ditanggung oleh setiap personal.
Oleh karena itu sesungguhnya di samping keheroikan label mahasiswa yang begitu "gagah" di depan masyarakat, juga menuntut pembuktian atas hal itu. Jangan heran jika ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa mahasiswa itu bagai malaikat yang mampu menyelesaikan apa pun, apalagi jika pergi ke daerah pedesaan yang sumber daya manusianya masih kurang.

Merevolusi kesadaran. Itulah sebenarnya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif adalah bagian dari salah satu tugas intelektual mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang "baru"?
Secara umum kita memahami gerakan mahasiswa sebagai komunitas sosial yang menjalankan aktivitas dengan usaha untuk memainkan perannya dalam proses politik, terlepas dari skala dan metode pengerahan massa yang dilakukannya. Terlepas dari keberhasilan ataupun kegagalan yang dilakukan dalam menciptakan perubahan, gerakan mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses politik.

Kondisi pemerintahan pasca reformasi belum juga memberikan perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Kecenderungan untuk kembali merajalelanya pola-pola orde baru terlihat dengan jelas, salah satu indikasinya adalah semakin tingginya tingkat korupsi di negeri kita, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PERC, yang diakibatkan lemahnya sistem hukum dinegara kita. Fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif terkesan jauh dari hakekatnya sebagai pembawa aspirasi rakyat, justru yang lebih menonjol adalah pembawa aspirasi golongannya.


Gerakan Mahasiswa Tahun 1966

Dikenal dengan istilah angkatan 66, gerakan ini awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang sekarang berada pada lingkar kekuasaan dan pernah pada lingkar kekuasaan, siapa yang tak kenal dengan Akbar Tanjung dan  Cosmas Batubara. Apalagi Sebut saja Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) periode tahun 1999-2004.
Angkatan 66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakayat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) dari Presiden Sukarno kepada penerima mandat  Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA (orde lama) dan berpindah kepada ORBA (orde baru). Angkatan 66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyaknya aktivis 66 yang duduk dalam kabibet pemerintahan ORBA.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1972

Gerakan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan  sinisme terhadap warga keturunan. Dan Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, catat saja tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1980 an

Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004 beliau menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia / PSI).

Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an

Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).
Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang berbuat “over”, bahkan tidak segan-segan untuk men-DO-kan. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah tok.
Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Maka jangan heran jika misalnya hari ini menyusun strategi demo, besoknya aparat sudah  siap siaga. Karena banyak intel berkedok mahasiswa.
Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mengikuti ORPADNAS (orientasi kewaspadaan nasional) tingkat DKI Jakarta yang diikuti oleh seluruh Perguruan Tinggi di Jakarta pada tahun 1993. dan juga sebagai peserta pada kegiatan TARPADNAS (penataran kewaspadaan nasional) tingkat nasional yang diikuti oleh unsur pemuda dan mahasiswa seluruh Indonesia tahun 1994..
Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk  menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK, termasuk juga pada kegiatan TARPADNAS. 

Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif Pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (pergerakan mahasiswa islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kristen Indoenesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung.  Ini juga dialami penulis yang menemukan titik kejenuhan  jika hanya bergulat dengan ORMAWA intra kampus, karena mahasiswa menjadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar, apalagi predikat mahasiswa adalah sebagai agent of intelegence, agent of change, agent of social control, yaitu mahasiswa sebagai seorang kaum terdidik, sebagai pembaharu dan sebagai kontrol sosial.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 mei 1998.
Gerakan  mahasiswa tahun sembilan puluhan mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang ada, kondisi dimana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama 32 tahun ! politisi diluar kekuasaan pun menjadi tumpul karena terlalu kuatnya lingkar kekuasaan, dan dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).
    Simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia, seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai  atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di Gedung Dewan ini, tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Sungguh aneh dan luar biasa, elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan : Turunkan Soeharto.

    Dua elemen mahasiswa yang mencuat adalah FKSMJ dan FORKOT. Penulis mengenal betul karakter dua elemen mahasiswa ini. FKSMJ yang merupakan forumnya senat mahasiswa se Jakarta, lebih intens melakukan koordinasi dan terkesan hati-hati dalam menyikapi persolan yang muncul, dan lebih apik dalam beraksi karena menghindari gerakan mata-mata intel. Sedangkan FORKOT yang terdiri dari kelompok aktivis mahasiswa Pers Kampus lebih “radikal” dalam beraksi dan berani menentang arus, sehingga tak jarang harus berhadapan langsung dengan aparat, dan bentrok fisik pun tak terelakan.
    Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden memang tercapai, tapi perjuangan ini sangat mahal harganya karena harus dibayar dengan 4 nyawa mahasiswa Tri Sakti, mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus dibayar dengan tragedi Semangi 1 dan 2. Memang lengser nya Soeharto seolah menjadi tujuan utama pada gerakan mahasiswa sehingga ketika pemerintahan berganti, isu utama kembali kepada kedaerahan masing-masing. FORKOT dan FKMSMJ pun kembali bersebrangan tujuan.
     REFORMASI terus bergulir, perjuangan mahasiswa tidak akan pernah berhenti sampai disini. Perjuangan dari masa ke masa akan tumbuh jika Penguasa tidak berpihak kepada rakyat.

B.    Karakteristik Mahasiswa

Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari terdapat berbagai karakter mahasiswa, yang “menghiasi” perannya dalam pergerakan mahasiswa itu sendiri.

1.    Cenderung oportunis.
Jenis mahasiswa seperti ini cenderung menggambarkan bahwa organisasi dan pergerakan mahasiswa merupakan sebuah ladang bagi dirinya untuk meraih keuntungan. Entah itu keuntungan materi, kekuasaan, atau pun status sosial.

2.    Berpolitik praktis
Jenis mahasiswa ini biasanya tergabung ke dalam satu partai, dan mencoba untuk menggalang kekuatan masa untuk menduduki sebuah jabatan, atau untuk manggalang sebuah kekuatan opini. Yang lucunya, untuk sebagian mahasiswa cenderung meng’kulktus’ kan seorang tokoh , tanpa didasari oleh sebuah pemikiran-pemikiran kritis.

3.    Bertaktik.
Jenis mahasiswa ini biasanya menggunakan taktik-taktik tertentu untuk dapat membentuk opini orang lain, untuk kemudian mencoba membentuk opini tersebut menjadi sebuah persepsi yang benar, ada kalanya penggalangan kekuatan tidak hanya dilakukan dengan menggunakan otak, tapi juga otot

4.    Bersikap acuh tak acuh
Ada dua sebab mengapa mahasiswa menjadi acuh tak acuh. Pertama, dikarenakan tidak adanya rasa tanggung jawab dalam diri mahasiswa yang bersangkutan, dan mengidentikan bahwa seorang mahasiswa itu hanya bertugas untuk “belajar. Kedua, dikarenakan platform pergerakan mahasiwa yang tengah di usung tidak sesuai dengan pemikirannya, atau pun cara dia berjuang, bisa jadi orang-orang seperti ini mulai melihat bahwa organisasi mahasiwa yang bersangkutan berada pada jalur yang salah.

5.    Berlandasan
Jenis mahasiswa ini biasanya memiliki pemahaman-pemahaman, dan pola berpikir yang matang, sehingga segala sesuatu yang diperbuat atau di perjuangkannya memiliki sebuah landasan yang real, dengan arti kata penolakan dan penerimaan didasarkan pada sebuah proses berpikir yang matang dengan pertimbangan landasan-landasan itu tadi. Mengapa mahasiwa ini bisa menjadi terkotak-kotak?, bisa jadi ada berbagai macam persepsi yang berbeda tentang arti kata idelisme itu tadi. Sekarang apa yang dimaksud dengan idealisme, sekarang mari kita ungkap lebih jauh.

6.    Idealis
Idealisme adalah sesuatu yang ideal, dengan kata lain menempatkan sesuatu pada tempatnya,bisa juga dikatakan serasi atau selaras. Sebagai contoh, seorang mahasiswa dikatakan memiliki idealisme adalah ketika melakukan protes kepada seorang Dekan yang membuat sebuah keputusan dengan tidak mengindahkan aturan, untuk kembali kepada aturan yang sebenarnya, jadi idealisme disini adalah mencoba untuk memperjuangkan sebuah aturan yang telah disepakati sebelumnya, contoh lainnya adalah ketika seorang mahasiswa memperjuangkan kebutuhan orang-orang miskin, yang hak-hak nya tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Jadi idealisme itu timbul dikarenakan adanya sebuah pemikiran untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau dengan kata lain berbuat adil. Landasan Mahasiswa dalam Pergerakan Mahasiswa.  Secara garis besar ada dua andasan yang dipakai oeleh mahasiswa untuk memperjuangkan idealisme itu tadi, yaitu Hukum positif dan hukum Agama.

C.    Mahasiswa Kehilangan fungsi kontrol


Kondisi pemerintahan pasca reformasi belum juga memberikan perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Kecenderungan untuk kembali merajalelanya pola-pola orde baru terlihat dengan jelas, salah satu indikasinya adalah semakin tingginya tingkat korupsi di negeri kita, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PERC, yang diakibatkan lemahnya sistem hukum dinegara kita. Fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif terkesan jauh dari hakekatnya sebagai pembawa aspirasi rakyat, justru yang lebih menonjol adalah pembawa aspirasi golongannya.

Kondisi legislatif teralienasi ini semakin diperparah dengan kurang responsifnya partai-partai politik terhadap isu-isu publik untuk pemberdayaan rakyat, pengentasan krisis, serta pencerdasan bangsa. Mereka lebih sibuk dengan isu-isu berdimensi aliran, uang serta pembagian kekuasaan. Kondisi yang akut ini menuntut gerakan mahasiswa untuk proaktif dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang kontraproduktif.

Akan tetapi, justru gerakan mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya pasca reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub. Sebagian mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses politik bangsa ini. Menurut Yozar Anwar, pada dasarnya gerakan mahasiswa merupakan gerakan budaya, karena ia memiliki kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh karena itu mereka tidak boleh cepat puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menggunakan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan mahasiswa.

Ada pula yang terkooptasi oleh kepentingan politik sesaat, ataupun berafiliasi kepada partai yang sudah ada, sehingga pola gerakan dan isu yang dibangun sudah tereduksi oleh kepentingan golongannya. Ini merupakan gejala kemunduruan gerakan mahasiswa, karena stigma yang telah dikenakan kepada mahasiswa sebagai gerakan yang independen dan mengedepankan kepentingan rakyat, bukan golongannya. Ketidakpastian politik di negeri ini, pasca reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa, menggugah berbagai elemen bangsa untuk kembali mempertanyakan eksistensi gerakan mahasiswa dalam perjalanan politik bangsa ini. Gerakan mahasiswa dituntut untuk kembali melakukan perubahan signifikan guna memperbaiki kerusakan yang terjadi di negeri ini. 

Untuk itu dibutuhkan isu sentral yang dapat mempersatukan gerakan mahasiswa yang berserak ini (meminjam Istilah Ignas Kleden). Gagasan tentang revolusi sistemik cukup mendasar untuk dijadikan isu sentral arah baru gerakan mahasiswa sekarang ini. Mengingat kondisi bangsa yang belum bisa terlepas dari pengaruh kultur orde baru, maka kekuatan orde baru yang ada dalam sistem haruslah mundur ataupun dimundurkan sehingga dapat digantikan dengan orang-orang baru yang cenderung lebih bersih dari pengaruh dan kultur orde baru. Sejalan dengan gagasan Prof. Deliar Noer, kalau menginginkan reformasi total, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, mengingat pengalaman masa lalu. Konsistensi diperlukan dan pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam masa sebelumnya. Konsesi apapun tidak dapat dibenarkan untuk diberikan kepada pemerintah, kecuali dalam rangka reformasi.

Revolusi sistemik yang dimaksud diatas adalah perubahan radikal (mendasar) secara menyeluruh terhadap sistem lama yang sudah usang dan digantikan oleh sistem baru yang akan memuat nilai-nilai baru yang lebih baik. Secara struktural revolusi sistemik mengarah kepada perubahan sistem politik yang merupakan kulminasi dari agenda reformasi. Sementara proses kultural adalah tahapan antara yang menghantarkan kepada perubahan sistem politik. Proses perubahan secara struktural dan kultural dilalui agar perubahan tidak hanya terjadi pada level suprastruktur tapi juga infrastruktur. Sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa, adalah bagaimana mengembalikan ruh gerakan mahasiswa pada hakekatnya. Sebagai gerakan yang progresif, kritis dan independen, dengan begitu maka akan terwujud terbangun tatanan demokrasi yang kita idamkan.

D.    Keruntuhan Idealisme


1.    Efek Modernisasi

Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.

Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.

Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.

2.    Agenda yang Belum Tuntas

Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.

Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang. (29)


  Dosen Program Studi Manajemen Perkantoran, Mantan Aktivis Mahasiswa.
Disampaikan pada Kegiatan LDKM Himpunan Mahasiswa  Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13 Ramadhan 1417 H/ Oktober  2006 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pergerakan Mahasiswa dalam perpektif sejarah Oleh: Adman, S.Pd"

Post a Comment