Kritik Teori Clash of Civilization


Kritik Teori Clash of Civilization
Oleh Hilman Rasyid

Kita sering mengaitkan clash of civilization (perbenturan peradaban); seperti dikemukakan Samuel Huntington (1996) -dengan gejala post-modernisme.

Setelah baca-mendengarkan, ternyata teori ini mempunyai banyak kelemahan. Perbenturan ini dalam banyak hal merupakan perbenturan epistomologis ketimbang perbenturan peradaban. Peradaban masyarakat muslim jelas terlalu sederhana untuk dipandang sebagai gejala tunggal. Sehingga terlalu simplikasi jika menyatakan peradaban Islam yang majemuk itu secara keseluruhan menentang dan berbenturan dengan peradaban barat.

Dimana dia menyebutkan adanya delapan peradaban besar dunia; Barat, Islam, Konfusius, Jepang, Hindu, Slavik-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Dan langkah kedua Huntington adalah meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendoiminasi dunia masa depan bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antara Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar yang akan terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam - Konfusius

Kalau kata Prof Azyumardi Azra, konflik Barat dan Islam secara sederhana adalah konflik perbenturan antara Iran (setelah revolusi) dan Amerika. Perbenturan dalam banyak hal ini dirangsang oleh Barat sendiri, yang masih tetap memandang proyek modernismenya sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan (progress); sehingga masyarakat Muslim harus mengikuti pengalaman Barat dalam berbagai aspeknya.

Namun dalam kacamata Post-Modernisme, baik skeptis maupun afirmatif, justru centerization Barat itu harus ditolak. Jika hal ini dilakukan masyarakat Muslim, maka benar-benar akan menciptakan apa yang disebut clash of civilization.

Menurut Penelitian UNESCO dan PBB, sesungguhnya Peradaban Barat itu bersumber dari 3 tradisi keagamaan; Yahudi, Kristen, dan Islam. Hal ini juga menjadi titik kelemahan dari teori tersebut. Menurut Azra, pendikotomian Barat dan Islam itu tidak perlu dilakukan. Karena dalam Masyarakat muslim pun, peran Barat sangat bermanfaat terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi hal-hal yang positif dari barat bisa kita ambil. Begitu juga sebaliknya dengan Barat terhadap Islam.

Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu. Selain itu, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik

Ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Benturan Antar Peradaban atau Benturan Kepentingan? Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kritik Teori Clash of Civilization"

Post a Comment