PENGADILAN DAN DEMOKRASI INDONESIA
Seorang Guru besar Hukum Tata Negara yang bernama Moh. Mahfud MD pernah ditanya oleh seorang mahasiswa program doctor (S3) di pasca sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, tentang tetap buruknya penegakan hukum, terutama peradilan, setelah beberapa tahun kita reformasi. Tanyanya : Mengapa setelah kekuasaan politik dirombak hukum dan peradilan kita tetap bobrok ?
Penanya itu lalu menyitir kesimpulan disertasi Guru besar tersebut bahwa bagus atau tidaknya produk dan penegakan hukum tergantung pada konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Jika politiknya demokratis maka hukumnya akan responsif, sebaliknya jika politiknya otoriter maka hukumnya akan ortodoks. Kenyataannya, meski kita sudah merombak konfigurasi politik dari Orde Baru ke (sebutlah) Orde Reformasi hukum kita masih sangat buruk. “Apakah tesis Bapak tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum masih relevan jika dijadikan optik untuk melihat hukum di Indonesia sekarang ini?” tanyanya
Atas pertanyaan itu Guru besar tersebut menjawab bahwa tesis saya masih relevan untuk menjelaskan hubungan antara politik dan hukum. Yang agak keliru adalah si penanya karena tampaknya dia mempunyai pikiran bahwa reformasi sudah mengubah konfigurasi politik dari Orde Baru yang otoriter menjadi demokratis sehingga baginya menjadi aneh karena hukum tetap bobrok. Padahal setelah tujuh tahun reformasi konfigurasi politik kita tidaklah menjadi demokratis melainkan bergeser ke Oligarkis.
Di dalam sistem politik yang oligarkis ini agenda politik ditentukan dan diperjualbilakan melalui transaksi-transaksi politik dengan uang maupun jabatan sehingga hukum tak dapat menjadi responsif, malah dapat menjadi lebih buruk. Memang pada tahun pertama dan kedua pasca reformasi tampak sebentar (seperti kilatan) bahwa konfigurasi politik agak berubah menjadi demokratis sehingga banyak produk hukum ortodoks yang dibongkar dalam waktu yang relative pendek; namun setelah dua tahun konfigurasi politik itu bergeser ke arah oligarki sehingga hukum pun menjadi berantakan.
Hukum sebagai Produk Politik
Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik maka tampaklah fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Kita menyaksikan sendiri betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk politik Orde Baru diganti. Penggantian itu mula-mula menyentuh level UU sehingga kita melihat terjadinya penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi, Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2007 ini rezim reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.
Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang dianggap lebih demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita.
Moh. Mahfud berpendapat bahwa perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah satu kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena sebenarnya selama empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen terhadap hasil amandmen tahun sebelumnya.
Perubahan itu didasarkan pada kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999. Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap tahun. Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai dengan situasi poleksosbud dan waktu tertentu.
Sebagai kesepakatan politik amat sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil perubahan itu secara struktur dan sistematika terlihat buruk, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat dan kemudian tak dapat dihindari.
KKN tetap Subur, Hukum tetap Bobrok
Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah sembilan tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan menjadi wabah menular termasuk kepada pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi. Kita tersentak ketika Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan isteri, anak, saudara, dan menantunya. Kita terhenyak ketika seorang guru besar yang tampak sederhana dan berlatarbelakang santri yakni mantan menteri kelautan dan perikanan diadili karena melakukan korupsi dan menyebar ranjau korupsi. Hampir semua tokoh politik yang dikenal sebagai pelopor-pelopor reformasi diciprati dengan dana nonbujeter DKP yang diduga kuat merupakan hasil korupsi.
Moh. Mahfud pernah menulis, akibat ranjau korupsi yang menggila seperti itu maka banyak politisi dan aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori: korupsi. Pencucian uang, gratifikasi, dan pidana pemilu.
Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya dapat diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan hukum.
Dari sudut politik saya mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan keadaan ironis terus berlanngsung.
1. Reformasi hanya memotong puncak
Ketika melakukan reformasi kita hanya memberhentikan Presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan tahun.
Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya sejarah tidak bersih.
2. Masih dominannya pemain-pemain lama
Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup untuk terus menguasasi panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di panggung politik. Tapi justeru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang yang baik secara bercampurbaur dengan kecenderungan institusional yang korup. Oleh sebab itu cap ”reformis” atau ”antireformasi” tak dapat dilekatkan pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan parpol yang dapat berada di parpol mana saja.
3. Politisi baru yang tanpa visi
Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.
4. Rekrutmen politik yang tertutup
Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif Presiden dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara Presiden dan elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan.
Presiden yang mempunyai niat baik untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya pembentukan zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan utama, lebih-lebih pada saat reshuffle.
Peradilan yang juga Korup
Jadi selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum.
Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan terperosok ke dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup.
Sekarang ini banyak pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus dan bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun argumen yuridis. Bahkan untuk kasus-kasus yang melibatkan orang besar Tim Pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih buruk lagi, sekarang ini saksi ahli pun kabarnya bisa dipesan untuk mengatakan hal tertentu dengan tarip tertentu pula.
Kesimpulan dan Langkah-langkah
Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal tulisan ini maka selain mencari ”penegak hukum” yang tegas dan berani ada beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.
Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini kita selalu menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum juga dilakukan.
Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol untuk menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk lembaga eksekutif sistem pemilihan Presiden secara langsung harus disertai dengan instrunmen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional) dengan membebaskan Presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini Presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan presiden langsung agar Presiden lebih kuat. Sekarang ini Presiden tampak tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.
Daftar Pustaka
Mahfud MD, Moh (2007). Pengadilan dan Demokrasi. [Online]. Tersedia : http://www.komunitasdemokrasi.or.id. [23 Desember 2010]
0 Response to "PENGADILAN DAN DEMOKRASI INDONESIA"
Post a Comment