BAB II
BAHAYA MISI
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
2.1. Pengertian
2.1.1. Pengertian Misi dan Jaringan
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia “Misi adalah urusan, pekerjaan”. (Desy Anwar, 2003 : 282). Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Misi adalah Tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme dsb. Sedangkan Jaringan berasal dari kata Jaring, yang artinya jebakan; parangkap. Dan Jaringan adalah sistem siaran yang terdiri atas sejumlah stasiun radio yang dioperasikan oleh suatu organisasi induk dan yang sering menyiarkan program yang serupa pada waktu yang sama. (Ebta Setiawan, 2010 : KBBI Offline versi 1.1)
2.1.2. Pengertian Islam
“Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi SAW berpedoman pada kitab sosial-Qur’an, yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT”. (Desy Anwar, op.cit., 195). Dalam Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawi Hadits no.2 (2008 : 9) …Rasulullah menjawab ‘Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika engau telah mampu melakukannya’. (H.R. Muslim)
Dalam Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Islam ialah mengkuti jejak pesuruh-pesuruh Allah dalam segala hal yang telah diwahyukan kepada mereka dari masa ke masa sampai diakhiri dengan kenabian Muhammad SAW yang telah menutup segala jalan-Nya melainkan lewat ajaran beliau. (1984 : 36)
2.1.3. Pengertian Islam Liberal
Liberal adalah kaum liberal; penganut paham liberalis; liberalisme. Sedangkan liberalisme adalah aliran paham ketatanegaraan dan ekonomi yang bercita-cita demokrasi dan dalam ekonomi menganjurkan kebebasan berusaha dan berniaga, pemerintah tidak boleh ikut campur. (Desy Anwar, op.cit., 261)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “Liberal yaitu bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka)”. (Ebta Setiawan, 2010 : op.cit.,)
Dan dalam buku Membongkar Aliran Islam Liberal (Hafiz Firdaus Abdullah, 2007:9) Menurut Kamus Dewan mendefinisikan perkataan Liberal sebagai
1. (bersifat) condong kepada kebebasan dan pemerintahan yang demokratik (misalnya menentang hak-hak keistimewaan kaum bangsawan), (fahaman) bebas.
2. Bersifat atau berpandangan bebas, berpandangan terbuka (tidak terkongkong kepada suatu aliran pemikiran dsb). : Hafiz Firdaus Abdullah (Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka ;1994)
Menurut mereka, Islam Liberal adalah Islam yang dinamis, progresif, mengikuti dinamika zaman, Islam yang tidak beku. Dengan kata lain, Islam yang mengikuti dinamika sejarah. Karena itu, kita akan mendapati definisi Islam Liberal yang bermacam-macam, karena batasannya pun tidak jelas, dan bisa berubah-ubah mengikuti zaman dan tempat. Inti dari pemikiran mereka adalah mengubah ajaran Islam agar sesuai dengan zaman. Aqidahnya diubah, syariatnya diubah, dan sebagainya. (http://aqse.multiply.com/journal/item/90)
“Islam Liberal” adalah istilah Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book.(Edisi Indonesia: Wacana Islam Liberal) Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), Intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah “Islam Liberal.” (http://roele.wordpress.com/2008/02/28/islam-liberal/)
[Charles Kurzman, Liberal Islam: A Source Book. (Oxford University Press, 1998), Edisi Indonesia: Wacana Islam Liberal, (Paramadina, Juni 2001)]
Menurut KH.Drs. Shiddiq Amien, MBA (http://aqse.multiply.com/journal/item/91) Liberalisme berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous).
Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme.
2.2. Munculnya Islam Liberal di Indonesia
Berbicara tentang JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah berbicara tentang Munkarot (hal-hal yang munkar). Karena muatan JIL itu adalah munkarot. JIL itu sendiri hanyalah salah satu di antara sekian banyak firqoh liberal di Indonesia, yang rata-rata mendapatkan dana dari lembaga kafir. Yang didanai lembaga kafir The Asia Foundation yang berpusat di Amerika saja sekitar 44 lembaga di Indonesia, menurut data dari mereka, JIL adalah salah satu dari 44 lembaga yang didanai lembaga kafir tersebut. Dan 44 Lembaga termasuk JIL itu hanyalah pengasong, pengeteng, pengider, penjual eceran atau pedagang kaki lima barang-barang munkarot. Sedang pabriknya adalah Perguruan tinggi Islam se-Indonesia yang kurikulumnya disusun atas tanggung jawab Departemen Agama RI. Sehingga, pabrik munkarot yang produknya sangat berbahaya dan merusak islam ini sebenarnya adalah perguruan tinggi Islam se-Indonesia (IAIN, UIN, STAIN, STAIS bahkan merambah ke Fakultas Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum).
Kemunculan Istilah Islama Liberal ini, menurut Luthfie Assyaukanie salah satu pengajar Universitas Paramadina Mulya, mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sember rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholish Madjid. Meski Nurcholis Majdid sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.
Karena itu, Islam Liberal sebenarnya “tidak beda” dengan gagasan-gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kelompkonya, yaitu kelompok islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat islam (secara formal oleh negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, “menyamakan” agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Nurcholish mengembangkan gagasannya lebih intensif lewat yang mereka sebut “Jaringan Islam Liberal”.JIL ini mulai aktif pada Maret 2001. Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya yang tegabung dalam islamliberal@yahoogroups.com , dan menyebarkan gagasannya lewat website www.islamlib.com.
Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artkel dan wawancara seputar perspertif Islam Liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung (talkshow) dan diskusi interaktif dengan Kontributor Islam Liberal, lewat Kantor Berita Radio68H dan puluhan radio jaringannya. Selain itu, media masa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal diantaranya Kompas, Koran Tempo, Republika, majalah Tempo dan lain-lain.
2.3. Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal (JIL)
Merombak islam seakar-akarnya dengan membuang sumber ajaran dan melakukan penafsiran ulang adalah tujuan yang bisa dibaca dari gerakan mereka.
Luthfie Asy-Syaukanie, tokoh islib yang pernah menjadi moderator di e-group, pernah mengutarakan tentang Tujuan berdirinya Islam liberal, Saya melihat bahwa mayoritas Islam yang ada sekarang adalah Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam sikap poitis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Dalam bayangan saya, Islam Liberal adalah sebuah gerakan reformasi (bukan dalam pengertian mahasiswa, tapi pengertian semangat protestanisme klasik) yang berusaha memperbaiki kehidupan umat islam, baik menyangkut pemahaman keberagaman mereka maupun persoalan-persoalan lainnya (ekonomi, politik, budaya dll) . (Abu Umar Abdillah, 2006 : 15)
Tampak dari pernyataan Luthfi, bahwa JIL berdiri sebagai protestan bagi islam, sebagaimana Marthin Luther berdiri sebagai protestan bagi agama Katholik. Kalau gerakan Marthin Luther adalah reaksi dari penyimpangan para gerejawan yang mengeruk dunia atas nama agama, sedangkan JIL menuduh para sahabat, tabi’in, ulama madzhab dan para salaf telah menyimpangkan islam untuk melanggengkan status quo mereka. Karena itulah JIL melakukan penafsiran ulang terhadap islam, bukan lagi menurut ulama islam, tetapi mengikuti kafirin Barat.
2.4. Bukti-bukti “Misi Islam Liberal adalah Misi yang telah Usang”
Menurut Ustadz Muhammad Arifin Badri dalam bukunya yang berjudul “JIL Jaringan Iblis La’natullah”, beliau sedikit membuktikan bahwa misi yang sedang mereka pikul dengan segala pengorbanannya adalah misi yang telah using. Adapun beberapa buktinya yaitu:
A. Kufur Terhadap Janji Allah dan Rasul-Nya
Ustadz Muhammad Arifin Badri mengajak para pembaca untuk membandingkan antara ucapannya berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).
Bandingkan ucapannya ini dengan ucapan Abu Jahal dan kawan-kawannya ketika dijanjikan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam akan menjadi pemimpin bangsa Arab dan juga selainnya (bangsa ‘ajam/non Arab) bila mereka mengikrarkan ucapan syahadat (La ilaha illallah), ucapan mereka itu telah diabadikan dalam ayat-ayat berikut ini,
Artinya : “Apakah ia hendak menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): Pergilah kamu, dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir (yaitu agama nasrani), ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah (kedustaan) yang diada-adakan.” (QS. Shad: 5-7)
Bila Abu Jahal menganggap seruan tauhid, beribadah hanya kepada Allah Ta’ala adalah suatu hal yang mengherankan, maka UAA menganggapnya sebagai sikap tidak mampu memahami sunnah Tuhan, atau bahkan sebagai sikap malas berpikir atau sebagai pelarian dari masalah, atau sebagai wujud ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka, dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental hal. 12).
Dengan demikian JIL benar-benar bodoh dan bahkan menentang kandungan syahadat (la ilaha illallahu) yang merupakan inti ajaran dan misi utama dakwah setiap nabi dan rasul, yaitu hanya beribadah kepada Allah dan berlepas diri dari segala peribadatan kepada selain-Nya:
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah) itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An Nahl: 36)
Artinya : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah." (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kandungan syahadat la Ilaha illallah, yang yang merupakan misi utama dakwah para rasul sebelum Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam juga merupakan misi dahwah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, sebagai rasul terakhir. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya dalam sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ) متفق عليه
Artinya : “Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’” (Muttafaqun ‘Alaih)
Inilah prinsip utama agama Islam, yaitu beriman dan beribadah hanya kepada Allah dan menentang setiap peribadatan kepada selain-Nya. Sehingga setiap muslim yang benar-benar beriman, pasti meyakini bahwa penyembahan kepada malaikat, nabi, binatang, benda, patung atau syetan dll adalah bentuk-bentuk kemusyrikan yang harus diingkari dan diperangi, karena itu semua bertentangan dengan keimanan dan merupakan kekufuran. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya, firman Allah Ta’ala berikut ini:
Artinya : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai, Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’, sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan atasnya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong.” (QS. Al Maidah: 72)
Dan bila kita pikirkan lebih jauh, sebenarnya doktrin agama Abu Jahal ini, yaitu persatuan agama dan pengakuan bahwa tuhan itu banyak dan tidak esa, adalah misi utama bagi seluruh upaya dan daya yang ia kerahkan selama ini.
B. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam Manusia Biasa Yang Berjalan di Pasar
UAA menyelisihi salah satu prinsip utama agama Islam ini, sehingga ia tak segan-segan untuk mengutarakan isi hati dan misi yang sedang ia emban, yaitu ketika ia menganggap bahwa uswah dan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dan penerapan Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya hanya sebatas salah satu kemungkinan saja (one among others) dari berbagai penerjemahan terhadap Islam di muka bumi. Para pembaca -yang semoga senantiasa dirahmati Allah- cermatilah ungkapan nista yang diucapkan oleh Ulil Abshar Abdallah (UAA) berikut ini:
“Islam yang diwujudkan di madinah partikular, historis, dan kontekstual, sempurna untuk ukuran zamannya, tapi tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others. Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Kesesatan UAA ternyata tidak hanya berhenti sampai di sini saja, akan tetapi ia lebih nyata dan jelas menunjukkan jati dirinya, yaitu dengan berkata:
“Nabi itu manusia biasa, tetapi diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme, tapi tak semuanya bisa terwujud, karena struktur sosial tak bisa diubah sepenuhnya.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Di lain kesempatan Ulil Abshar Abdallah (UAA) mensifati Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dengan ucapannya:
“Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” Ustadz Muhammad Arifin Badri (www.pakdenono.com)
Dari ucapan UAA diatas, jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya agama yang dianut oleh orang-orang JIL bukanlah agama Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan bila anda bertanya: “Sebenarnya agama siapakah yang dianut oleh JIL dengan koordinatornya yang bernama UAA?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak firman Allah berikut:
Artinya : “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Huud: 27)
Inilah agama yang sedang mereka anut, yaitu agama para musuh Nabi dan rasul pada setiap zaman.
Perbedaannya antara ucapan UAA dengan penentang para nabi zaman dahulu hanya pada kesimpulan terakhir, yaitu pada ucapan mereka: “Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” Bila penentang para nabi nyata-nyata mendustakan kenabian dan kerasulan mereka, akan tetapi JIL melalui koordinatornya tidak atau mungkin belum berani mengutarakannya.
Dengan memahami kesamaan antara kedua perkataan ini, kita tahu dengan gamblang ajaran siapakah sebenarnya yang dianut oleh JIL, yaitu ajaran para penentang nabi dan rasul di setiap zaman, yaitu ajaran yang berlandaskan kepada “wahyu” (bisikan) dari Iblis terlaknat. Dengan demikian ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya JIL (UAA) adalah pembaharu agama Abu Jahal dan konco-konconya. Na’uzubillahi min zalika.
C. Upaya Mengingkari Hari Qiyamat
Diantara ajaran Abu Jahel dan kawan-kawannya yang dikisahkan dalam Al Qur’an ialah pengingkaran terhadap, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah berikut:
Artinya : “Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-keli tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitahukan kepadamu apa yang telah kamu amalkan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghabun: 7)
Beriman kepada hari akhir dan seluruh kejadian yang akan terjadi setelahnya merupakan salah satu dasar keimanan yang memiliki peranan penting dalam agama Islam dan kehidupan setiap muslim. Oleh karena begitu pentingnya peranan keimanan kepada hari akhir, Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Al Karim dan juga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sering menyebutnya secara bersandingan dengan keimanan kepada Allah, terutama ketika memerintahkan sesuatu atau melarang dari sesuatu. Misalnya firman Allah Ta’ala:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59).
(Selain ayat ini, silahkan baca surat Al Baqarah, ayat: 228 & 232, surat An Nur 2, Al Ahzab 21, Al Mumtahanah 6, At Thalaq 2).
Dan contoh dari sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ialah, hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول صلى الله عليه و سلم: (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت) متفق عليه
Artinya : “Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti (mengganggu) tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia menghormati tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata-kata yang baik atau (kalau tidak) hendaknya ia diam.’” (H.R Muttafaqun ‘alaih)
Diantara hikmah yang dapat kita petik dari metode ini (menyandingkan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir) ialah karena keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir senantiasa menjadi motivasi kuat bagi setiap muslim dalam menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangannya. Yang demikian ini, acap kali seorang muslim ingat Allah Ta’ala dan hari akhir akan dengan ringan mengamalkan syari’at Islam, dan berkorban untuk memperjuangkannya, karena ia yakin bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui perbuatannya, dan pasti akan membalasnya. Bila amalannya baik, niscaya balasan yang ia akan dapatkan ialah surga, dan itu merupakan cita-cita setiap muslim. Akan tetapi bila amalannya buruk, maka balasan yang akan ia dapatkan ialah neraka, dan itu adalah hal yang paling ditakuti oleh setiap muslim.
Diantara hikmah metode ini, ialah guna mengisyaratkan kepada setiap yang membaca atau mendengarnya bahwa amal ketaatan dan meninggalkan larangan yang disebutkan sebelumnya adalah pertanda bagi keimanan pelakunya terhadap Allah Ta’ala dan hari qiyamat.
Dan inilah yang mungkin mendasari JIL berusaha memadamkan semangat perjuangan dan pengorbanan umat Islam guna memuaskan hati juragan-nya, yaitu dengan cara memerangi sumber kekuatan umat Islam, yaitu dengan mendangkalkan dan merusak keimanan mereka kepada Allah dan hari akhir. Oleh karena itu, saya tidak heran ketika membaca tulisan UAA yang sangat sungkan untuk menerjemahkan kata: “Akhirat”, sebagaimana mestinya dan
malah menerjemahkannya menjadi: “dunia nanti”. Berikut cuplikan ungkapan UAA:
“man arada al dunya fa’alaihi bil al ‘ilmi wa man arada al akhirat fa ‘alaihi bi al ‘ilmi.” (barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti” juga harus pakai ilmu.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).
Dan diantara yang membuktikan bahwa UAA berusaha mendangkalkan keimanan kepada hari akhir ialah, ucapannya berikut ini:
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat: ‘inna al dina ‘inda allah al Islam.’ (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).” Ustadz Muhammad Arifin Badri (www.pakdenono.com)
D. Pengakuan Terhadap Nabi Palsu
Umat Islam dimanapun mereka berada telah sepakat bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para rasul, sehingga tidak ada lagi seorangpun yang menjadi nabi atau rasul sepeninggal beliau. Keyakinan ini berdasarkan banyak dalil, diantaranya:
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40)
Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini merupakan dalil yang nyata lagi tegas yang menyatakan bahwa tidak ada nabi lagi setelah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, dan bila sudah tidak ada nabi setelah beliau, maka sudah barang tentu tidak ada rasul, karena kerasulan lebih spesifik dibanding kenabian, sebab setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Dan yang demikian ini juga telah ditegaskan dalam banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam oleh beberapa sahabatnya, semoga Allah senantiasa meridhai mereka.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Tafsir Ibnu katsir, 3/493).
Beliau juga berkata: “Diantara perwujudan rahmat Allah terhadap hamba-Nya ialah Ia mengutus kepada mereka Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, dan diantara bentuk kemulian yang dilimpahkan kepada mereka ialah dengan ditutupnya kenabian dan kerasulan dengan kenabian dan kerasulannya shollallahu ‘alaihi wasallam, dan juga dengan disempurnakannya agamanya yang lurus ini. Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang mutawatir (banyak jumlahnya) bahwa tidak ada nabi setelah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam.
Ini semua agar setiap manusia mengetahui bahwa siapa saja yang mengaku menjadi nabi setelah beliau berarti ia adalah pendusta, pengada-ada, pemalsu, sesat lagi menyesatkan, walaupun ia menunjukkan kehebatan, keanehan, sihir dan ajimat yang beraneka ragam. Yang demikian ini karena orang-orang yang berakal dapat mengetahui bahwa seluruh yang ini tunjukkan adalah suatu hal yang mustahil lagi sesat. Sebagaimana yang telah tunjukkan oleh nabi-nabi palsu: Al Aswad Al ‘Insi di Yaman, Musailamah Al Kazzab (sang pendusta) di negri Yamamah, berupa keanehan-keanehan, berbagai kehebatan semu, dan ucapan-ucapan yang tiada artinya. Setiap orang yang berakal dan memiliki pemahaman jernih akan tahu bahwa keduanya adalah pendusta lagi sesat. Semoga Allah senantiasa melaknati keduanya dan juga melaknati setiap yang mengaku-ngaku menjadi nabi di sepanjang masa hingga hari qiyamat, dan datangnya Dajjal. Setiap orang dari para pendusta tersebut telah memiliki beberapa keanehan, yang setiap ulama’ dan orang yang beriman, akan mengatakan bahwa pelakunya adalah nabi palsu, tentu ini merupakan wujud dari rahmat Allah kepada hamba-Nya.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Tafsir Ibnu katsir, 3/494).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits juga menegaskan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul, dan tidak ada nabi setelah beliau, diantara hadits-hadits tersebut ialah:
وعن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين وحتى يعبدوا الأوثان وإنه سيكون في أمتي ثلاثون كذابون كلهم يزعم أنه نبي وأنا خاتم النبيين لا نبي بعدي) رواه أبو داود والترمذي
Artinya : “Dan diriwayatkan dari sahabat Tsauban, ia berkata: rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Qiyamat tidaklah akan tiba, hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrikin, dan hingga sebagian mereka beribadah kepada berhala. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya akan ada di tengah-tengah umatku tiga puluh pendusta, semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi setelahku.” (H.R Abu Dawud, AT Tirmizy dll)
Orang yang mengaku sebagai nabi setelah kenabian Muhammad bin Abdillah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah palsu dan disebut juga dengan sebutan Dajjal (pendusta), sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: (لا تقوم الساعة حتى يبعث دجالون كذابون قريب من ثلاثين كلهم يزعم أنه رسول الله) متفق عليه
Artinya : “Dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Qiyamat tidak akan datang, hingga datang dajjal-dajjal para pendusta (jumlahnya) hampir tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai utusan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun JIL, maka melalui lisan koordinatornya UAA, dengan sengaja mengakui dan mungkin akan senantiasa mengikuti setiap dajjal yang datang. Lihat dan amatilah sikap mereka yang tertuang dalam beberapa ucapan koordinatornya UAA, diantaranya:
“Nabi Muhammad sebagai ‘khatiman Nabiyyin’ seperti disebut dalam Al Qur’an tak diartikan sebagai penutup para nabi. Yang lebih tepat maknanya cincin. Ibarat jari diantara jari-jari lainnya, maka jari yang memakai cincin begitu diistimewakan, Karena itu sejarah kenabian akan tetap berlangsung setelah wafatnya Rasulullah.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental, hal. 244).
Dan dalam ungkapan lainnya ia berkata:
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah ‘lembaga agama’ yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat “inna al dina ‘inda allah al Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Idem hal. 15).
Bila menurut JIL Islam hanyalah suatu proses yang tak pernah selesai, maka konsekwensinya JIL akan senantiasa mengakui dan mengikuti setiap yang mereka anggap “proses”, baik itu agama selain Islam, atau proses palsu yang dibawa oleh dajjal kecil, yaitu nabi-nabi palsu atau dajjal besar, seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (ما من نبي إلا وقد أنذر أمته الأعور الكذاب، ألا إنه أعور وإن ربكم ليس بأعور ومكتوب بين عينيه ك ف ر)متفق عليه
Artinya : “Dari sahabat Anas bin malik ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiada seorang nabi-pun melainkan telah memperingatkan umatnya dari si buta sebelah lagi pendusta (dajjal), ketahuilah sesungguhnya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Tuhan-mu tidak buta sebelah, dan tertulis diantara kedua mata dajjal (ك ف ر ).” (Muttafaqun ‘alaih)
Di kesempatan lain JIL melalui koordinatornya UAA mengatakan: “Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia.”
Membaca ucapan UAA ini, saya menjadi teringat dengan dua firman Allah Ta’ala berikut:
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sehingga sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Wahyu yang diturunkan oleh Iblis inilah yang hingga saat ini bekerja dan turun kepada manusia, dan wahyu inilah yang mungkin sedang di buru oleh JIL bersama koordinatornya yang bernama Ulil Abshar Abdalla.
E. Antara JIL dan Orang-orang Munafik
Kemunafikan ialah perbuatan menampakkan kepada masyarakat kebaikan, akan tetapi pada waktu yang bersamaan ia menyembunyikan kejahatan. Kemunafikan dengan definisi seperti ini terbagi menjadi dua macam:
1. Kemunafikan dalam hal amalan, (nifaq ‘amaly)
yaitu menyembunyikan kejahatan selain kekufuran dan menampakkan kebaikan, misalnya membaguskan suatu amalan di hadapan manusia, berbohong dalam pembicaraan dll.
2. Kemunafikan dalam hal aqidah (ideologi),
yaitu menampakkan ke-Islaman dan menyembunyikan kekufuran. Kemunafikan macam inilah yang pelakunya akan kekal di neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut:
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah (kerak) neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka.” (QS. An Nisa’: 145)
Mereka diazab oleh Allah Ta’ala dengan adzab yang paling pedih, bahkan di kerak neraka paling bawah, karena dosa mereka melebihi dosa orang-orang kafir lainnya. Mereka sama-sama kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka melebihi orang kafir lainnya, yaitu mereka senantiasa merencanakan berbagai tipu daya dan pengkhianatan terhadap kaum muslimin, dan memiliki berbagai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang kafir lainnya, padahal Islam dan kaum muslimin secara lahir (dan karena tidak menyadari akan isi hati mereka) telah memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin yang benar-benar beriman.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh As Sa’dy hal. 211).
Selama perjalanan sejarah agama Islam di kota Makkah, manusia hanya ada dua golongan: Kafir dan Muslim, hal ini karena kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang layak untuk ditakuti, sehingga setiap orang yang tidak mau masuk Islam, ia dengan leluasa menunjukkan kekufurannya. Yang terjadi justru kebalikan dari kemunafikan, yaitu sebagian kaum muslimin yang lemah kedudukan sosialnya menyembunyikan keIslamannya, agar tidak di tindas oleh orang-orang musyrikin.
Akan tetapi sejarah berubah dan peta kekuatan menjadi berbalik ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin telah berhijrah ke kota Madinah, dan kebanyakan penduduk Madinah dari kabilah Aus dan Khajraj telah memeluk Islam, dan mereka berhasil mengalahkan kafir Quraisy dan membunuh para pemimpin mereka di perang Badar, yaitu pada tahun ke-2 Hijriyyah. Sebagian orang yang enggan untuk masuk Islam mulai merasa takut dan khawatir akan kedudukannya, sehingga mereka lebih memilih jalan lain, yaitu menyembunyikan kekufuran dan kebenciannya terhadap Islam, dan berpura-pura masuk agama Islam, sehingga gembong mereka yang bernama : Abdullah bin Ubai bin Salul berkata kepada para pengikutnya:
هذا أمر قد توجه فبايعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم على الإسلام، فأسلموا. رواه البخاري
Artinya : “Sekarang urusan ini (agama Islam) telah jelas arahnya (yaitu semakin kuat dan berjaya), kemudian mereka pun (berpura-pura) membaiat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam atas agama Islam, dan merekapun akhirnya masuk Islam.” (Riwayat Bukhary)
Semenjak saat itulah kemunafikan muncul di tubuh umat Islam, dan mulai dirasakan ulah dan kejahatannya. Ustadz Muhammad Arifin Badri (Tafsir Ibnu Katsir 1/47).
Karena hakekat orang-oang munafik seperti demikian ini, maka tidak heran bila dalam Al Qur’an Allah Ta’ala banyak menyibak kedok mereka dan memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci menyebutkan beberapa kriteria orang-orang munafik, agar kaum mukminun tidak terpedaya oleh penampilan lahir mereka, sehingga bila sampai terpedaya akan terjadi petaka besar, yaitu mereka tidak waspada dari setiap perilaku mereka dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang beriman, padahal pada hakekatnya mereka adalah orang-orang kafir. Dan anggapan semacam ini merupakan dosa besar, yaitu menganggap baik orang-orang jahat.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Idem).
Diantara kriteria orang-orang munafiq yang dijelaskan dalam Al Qur’an ialah senantiasa mengatakan bahwa mereka sedang berbuat kebaikan dari setiap ulah dan kejahatannya, sebagai contoh:
Ketika dikatakan kepada mereka agar mereka meninggalkan perbuatan kemaksiatan yang sering mereka kerjakan, mereka berdalih bahwa mereka sedang berbuat kebaikan:
Artinya : “Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Jangalnlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah: 11-12)
Ulama’ Ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud dari “kerusakan” di ayat ini ialah: perbuatan maksiat, inilah kerusakan yang mereka perbuat, yaitu melanggar syari’at Allah Azza Wa Jalla, sebab setiap orang yang berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’ala atau menyeru kepada kemaksiatan, ia dikatakan telah berbuat kerusakan di muka bumi, sebab bumi dan langit hanya dapat menjadi makmur dengan amal shaleh. Ustadz Muhammad Arifin Badri (Tafsir At Thabari, 1/125, dan Tafsir Ibnu Katsir, 49)
Sebagai salah satu bukti bagi keterangan ulama’ ahli tafsir di atas ialah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا، ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المئونة وجور السلطان عليهم، ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا القطر من السماء، ولولا البهائم لم يمطروا) رواه ابن ماجة والبيهقي والحاكم وحسنه الألباني
Arinya : “Tidaklah perbuatan fahisyah (perzinaan) merajalela di suatu masyarakat, hingga mereka berani melakukannya dengan terang-terangan, melainkan akan merajalela pula di tengah-tengah mereka berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa umat sebelum mereka, dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan (berbuat curang ketika menakar dan menimbang) melainkan mereka akan ditimpa kelaparan, kesusahan dalam hidup, dan kezaliman para penguasa, dan tidaklah mereka enggan menunaikan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi untuk mendapatkan hujan dari langit, dan kalau bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan pernah diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, serta dihasankan oleh Al Albani)
Ini adalah sebagian dampak buruk dari perbuatan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Orang-orang munafikin dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, setiap kali dikatakan kepada mereka: janganlah kamu berbuat maksiat! Mereka senantiasa berdalih: sesungguhnya kami sedang berbuat kebaikan dan mengadakan perbaikan. Sebagai salah satu contoh nyata ialah apa yang tersurat dalam ucapan UAA berikut: “Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi ‘paket’ yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita dengan cara sederhana: take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Islam Liberal & Fundamental, hal. 7).
UAA berusaha mengemas kekufuran dan kemunafikan yang sedang ia dakwahkan dalam bahasa “menyegarkan” dan “menuju kemajuan”. Maha Suci dan Maha Benar Allah Ta’ala atas segala firman-Nya, benar-benar tepat sepeti yang digambarkan dalam kedua ayat di atas.
Pada ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan kriteria kedua yang ada pada diri orang-orang munafik:
Artinya : “Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman’, mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al Baqarah: 13)
Mereka senantiasa merasa bahwa mereka adalah para intelektual, ahli dalam berbagai ilmu, dan memiliki metode berfikir dan sikap yang lebih maju dan lebih rasional dibanding orang-orang yang benar-benar beriman. Watak dan kriteria ini ternyata juga dengan mudah kita baca dan lihat pada orang-orang munafik di zaman kita, sebagai salah satu buktinya, silahkan baca ucapan UAA berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah suatu ‘paket lengkap’ yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima ‘kemalasan’ semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Idem, hal.13 ).
Di lain kesempatan ia berkata:
“Upaya penegakan syari’at Islam adalah wujud dari ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara yang rasional.” Ustadz Muhammad Arifin Badri (Idem, hal.12).
Tuduhan sekaligus penghinaan UAA terhadap kaum mukminin yang mengikuti syari’at agama Allah, serupa dengan tuduhan orang-orang kafir, penentang para rasul zaman dahulu, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an:
Artinya : “Mereka berkata: Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang yang hina?” (QS. As Syu’ara’: 111)
Di banyak kesempatan UAA juga menganggap bahwa keimanan, keIslaman, dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan
seluruh ulama’ salaf (terdahulu) adalah Islam historis, partikular, atau klasik, beku, menindas maslahat manusia.. Dan tidak segan-segannya ia menganggap bahwa Islam yang ia ajarkan adalah Islam yang lebih segar, lebih cerah dan lebih memenuhi maslahat manusia. Berbagai kata-kata indah ia gunakan untuk mengemas kebencian dan permusuhan terhadap agama dan umat Islam yang sedang membara dalam jiwanya.
Pada kesempatan ini saya mengingatkan kaum muslimin dimanapun mereka berada agar senantiasa mensyukuri berbagai kenikmatan Allah Ta’ala yang senantiasa menyertai setiap denyut kehidupan mereka. Betapa tidak, Allah Ta’ala dalam banyak dalil telah menjanjikan akan senantiasa membongkar kedok orang-orang munafikin, sehingga tipu muslihat dan jati diri mereka senantiasa diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang beriman,
Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad: 30)
2.5. Tokoh-tokoh Islam Liberal di Indonesia
Siapa sajakah yang mendaftar sebagaai Islam Liberal ?
Dalam Internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut : Husaini et.al (2002 : 5)
1. Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
2. Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
3. Masdar F.Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
4. Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
5. Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
6. Nasaruddin Umar, IAIN Sarif Hidayatullah, Jakarta.
7. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
8. Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
9. Denny JA, Universitas Jayabaya, akarta.
10. Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
11. Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
12. Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
13. Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
14. Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
15. Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
16. Ade Armando, Universitas Indonesia, Jakarta.
17. Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
2.6. Bantahan terhadap Paham Pluralis –Islam Liberal
Untuk menjawab golongan tasykik (menyebarkan keragu-raguan) yang punya faham pluralisme dan inklusivisme dengan menyebut dirinya sebagai Islam Liberal itu, perlu disimak ayat-ayat, hadits, sirah Nabi Muhammad saw yang riwayatnya otentik. Kalau semua agama itu sama, sedang mereka yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in itu cukup hanya mengamalkan agamanya, dan tidak usah mengikuti Nabi Muhammad saw, maka berarti membatalkan berlakunya sebagian ayat Allah dalam Al-Qur’an. Di antaranya ayat: 28
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.” (As-Saba’/34: 28).
Artinya : “Katakanlah (hai Muhammad): Hai manusia! Sesungguhnya aku utusan Allah kepada kamu semua.” (Al-A’raaf/ 7: 158).
Apakah mungkin ayat itu dianggap tidak berlaku? Dan kalau tidak meyakini ayat dari Al-Qur’an, maka hukumnya adalah ingkar terhadap Islam itu sendiri. Kemudian masih perlu pula disimak hadits-hadits. Sabda Nabi saw:
وكان النّبيّي يبعث الى قومه خاصّة و بعثت الى النّاس عامة
Artinya : “Dahulu Nabi diutus khusus kepada kaumnya sedangkan aku (Muhammad) diutus untuk seluruh manusia” Hartono Ahmad Jaiz (Diriwayatkan Al-Bukhari 1/ 86, dan Muslim II/ 63, 64).
Mungkin golongan tasykik –Islam Liberal masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan
hadits tentang diutusnya Nabi Muhammad untuk seluruh manusia ini bukan berarti
Yahudi dan Nasrani sekarang baru bisa masuk surga kalau mengikuti ajaran Nabi
saw. Kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya:
عن أبي هريرة عن رسول الله ص م أنه قال: والذي نفس محمد بيده ، لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار.
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
(Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menjalankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah SWT.
Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan buktibukti, Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi saw yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi. Hartono Ahmad Jaiz (Hartono Ahmad Jaiz, 2001 : 84-86).
mumtazz pisan!
ReplyDeleteKetika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
ReplyDelete